Oleh: Marsa Panigfat
Di tengah dinamika global yang kian kompleks dan tak menentu, Indonesia memerlukan strategi pembangunan ekonomi yang tidak hanya bertumpu pada kekuatan pasar, tetapi juga pada keberpihakan negara terhadap kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan investasi asing menjadi dua elemen kunci yang dapat saling melengkapi dalam membentuk fondasi ekonomi nasional yang inklusif, berdaulat, dan berkelanjutan.
BUMN bukanlah sekadar entitas bisnis milik negara. Lebih dari itu, ia adalah perpanjangan tangan negara dalam memastikan kehadiran layanan publik yang adil dan merata, terutama di sektor-sektor strategis seperti energi, transportasi, dan infrastruktur. Ketika pasar enggan menyentuh wilayah terpencil atau tidak menguntungkan secara komersial, BUMN tetap hadir — membuktikan bahwa logika pembangunan tidak selalu harus tunduk pada kalkulasi keuntungan semata.
Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap tantangan yang membelit BUMN selama ini: inefisiensi, birokrasi kaku, dan sering kali intervensi politik yang melemahkan profesionalisme. Untuk itu, transformasi BUMN menjadi keniscayaan. Reformasi yang mencakup tata kelola yang baik, peningkatan kualitas SDM, dan digitalisasi operasional harus terus didorong agar BUMN tak sekadar bertahan, tapi juga mampu bersaing di era globalisasi.
Di sisi lain, investasi asing memainkan peran vital sebagai motor penggerak pertumbuhan. Dengan membawa modal, teknologi, dan jaringan pasar internasional, investor asing dapat mempercepat laju pembangunan di berbagai sektor. Kehadiran mereka tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga memaksa industri lokal untuk berbenah, berinovasi, dan meningkatkan daya saing.
Namun tentu saja, investasi asing bukan tanpa risiko. Ketidakpastian regulasi, lemahnya koordinasi kebijakan, serta kesenjangan kapasitas antara pemerintah pusat dan daerah sering menjadi penghalang yang meredam potensi investasi. Ironisnya, potensi besar Indonesia justru kerap tersandera oleh kerumitan birokrasi dan regulasi yang tidak berpihak pada kepastian hukum.
Karena itu, saya percaya bahwa sinergi antara BUMN dan investasi asing bukan soal pilihan, tapi keharusan. Kolaborasi yang sehat antara keduanya akan melahirkan efek ganda: memperkuat kemandirian ekonomi dalam negeri melalui BUMN, dan membuka pintu modernisasi serta efisiensi melalui kehadiran investor asing.
Tentu saja, sinergi ini harus dibangun dengan prinsip yang jelas: keberlanjutan, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat. Baik BUMN maupun investor asing harus menjadikan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) sebagai pilar dalam menjalankan usahanya. Pembangunan yang merusak lingkungan, mengabaikan hak-hak sosial, atau hanya menguntungkan segelintir pihak, bukanlah pembangunan yang sejati.
Lebih jauh, investasi di sektor digital dan teknologi menjadi peluang besar yang perlu dimaksimalkan. Transformasi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan struktural bagi Indonesia agar mampu bersaing di ekonomi masa depan. Di sinilah peran BUMN dan investor asing dapat bersatu, mempercepat digitalisasi, mengembangkan riset, serta memberdayakan UMKM melalui ekosistem ekonomi digital yang inklusif.
Namun perlu diingat, kekuatan ekonomi suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh arus modal atau teknologi, tetapi juga oleh kualitas manusianya. Pendidikan dan pelatihan vokasi harus menjadi perhatian utama. Keterlibatan aktif BUMN dan investor asing dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal merupakan investasi jangka panjang yang tak ternilai.
Pada akhirnya, BUMN dan investasi asing ibarat dua kaki yang menopang perjalanan ekonomi Indonesia. Yang satu berakar pada misi sosial dan kemandirian, sementara yang lain membawa potensi akselerasi dan inovasi. Bila keduanya mampu berjalan seiring, didukung oleh kebijakan yang tepat dan institusi yang kuat, saya optimistis Indonesia bisa melangkah menuju masa depan yang lebih mandiri, adil, dan berdaya saing global.









