Oleh: Muhammad Zais M. Samiun
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Khairun
Dalam narasi pembangunan global hingga lokal, angka adalah simbol kemajuan. Capaian pembangunan dengan berbagai indikatornya, diukur dalam representasi angka. Angka pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, angka pengangguran, hingga angka inflasi, semuanya menjadi tolok ukur capaian dan dasar legitimasi kebijakan. Dalam dunia ekonomi modern, angka seolah menjadi bahasa tunggal yang dipercaya sebagai wakil realitas.
Terlebihnya lagi, angka juga bisa menjadi alat “pemanis” kebijakan. Dalam banyak kasus, penyajian data statistik cenderung dipoles untuk membentuk narasi keberhasilan. Misalnya, angka pengangguran turun—namun tidak dijelaskan bahwa yang masuk kategori bekerja termasuk mereka yang bekerja satu jam seminggu. Atau tingkat inflasi rendah, padahal harga-harga di pasar tradisional dirasakan makin mencekik. Masyarakat mengalami “inflasi nyata“, sementara statistik menunjukkan kestabilan.
Inilah yang disebut sebagai “ekonomi angka”, sebuah fenomena ketika capaian pembangunan dinilai semata-mata dari statistik, tanpa cukup menengok realitas sosial-ekonomi di akar rumput. Provinsi Maluku Utara semisalnya – Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia, kerap dijadikan bukti keberhasilan. Bahkan, angka-angka resmi menyebutkan bahwa kemiskinan menurun, pengangguran berkurang, dan investasi meningkat signifikan. Namun, pertanyaan penting yang perlu kita ajukan: apakah masyarakat merasakan langsung manfaat dari angka-angka itu?
Di Maluku Utara, angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tumbuh pesat, didorong oleh ekspansi sektor pertambangan dan industri pengolahan, khususnya di kawasan Halmahera. Namun, pertumbuhan yang impresif ini sering kali tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara merata. Ambil contoh desa-desa di lingkar industri tambang. Dari sisi angka makro, wilayah ini terlihat “maju”—karena menyumbang kontribusi besar terhadap PDRB provinsi. Tapi jika kita turun langsung ke masyarakat, masih banyak cerita tentang kesenjangan, keterbatasan akses air bersih, jalan yang belum memadai, hingga ketergantungan pada pekerjaan informal dan harga kebutuhan pokok yang fluktuatif. Dengan kata lain, statistik kemajuan ekonomi tidak selalu setara dengan kesejahteraan nyata.
Baca Juga:
DOB Makayoa Kepulauan; Menagih Keadilan Bernegara
Kebijakan Populis dan Investasi Asing: Antara Kepentingan Rakyat dan Daya Saing Ekonomi
Demikian pula dengan angka kemiskinan. Perubahan persentase kemiskinan di Maluku Utara secara statistik memang patut diapresiasi. Tapi kita perlu jeli membaca metode di balik angka itu. Ketika seseorang dianggap tidak miskin karena pengeluarannya melebihi Rp. 639.337 per bulan (BPS Provinsi Maluku Utara, 2025), apakah itu cukup untuk hidup layak di wilayah kepulauan yang ongkos logistiknya tinggi? Statistik bisa menunjukkan perbaikan, tetapi kualitas hidup tidak otomatis mengikuti.
Angka juga bisa menyembunyikan ketimpangan. Ketika ekonomi tumbuh tinggi tapi hanya terkonsentrasi di sektor tertentu atau wilayah tertentu—misalnya industri nikel di Halmahera—maka daerah lain seperti Pulau Taliabu, Sula, atau sebagian wilayah Morotai bisa tertinggal. Dalam hal ini, rata-rata statistik menyamarkan kesenjangan antarwilayah yang sesungguhnya cukup mencolok.
“Masalah utamanya bukan pada angka, melainkan pada cara kita membaca dan menggunakannya. Angka seharusnya menjadi alat bantu untuk memahami kompleksitas realitas sosial-ekonomi, bukan sebagai pengganti realitas itu sendiri. Angka statistik adalah alat bantu, bukan cermin tunggal realitas. Ia harus dibaca bersama narasi kualitatf, suara masyarakat, hasil riset lapangan, serta pemahaman lokal yang mendalam dalam konteks sosial dan geografis. Jika tidak, kita hanya akan membangun narasi pembangunan yang terputus dari kenyataan”.
Pemerintah daerah perlu lebih reflektif dan terbuka dalam menyusun kebijakan pembangunan. Angka pertumbuhan dan investasi penting, tetapi tidak boleh menutupi kebutuhan dasar warga seperti pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, serta infrastruktur yang merata di seluruh wilayah kepulauan. Dalam konteks Maluku Utara yang bercorak maritim, tantangan konektivitas antarpulau dan ketahanan pangan lokal pun perlu mendapat perhatian serius.
Media lokal juga punya peran penting. Tidak cukup sekadar mengutip angka dari rilis resmi, media harus menjadi penghubung antara statistik dan suara warga. Akademisi dan masyarakat sipil pun perlu ikut aktif menyuarakan narasi alternatif, agar diskursus pembangunan tidak hanya dikuasai oleh angka-angka yang membius.
Kita tentu tidak menolak kemajuan ekonomi. Tapi pembangunan sejati bukan hanya tentang berapa persen ekonomi tumbuh, melainkan seberapa banyak kehidupan yang membaik. “Ekonomi angka” memang sulit dihindari dalam era digital dan birokrasi modern. Namun, kita tak boleh terjebak dalam euforia statistik. Kita perlu mengingat bahwa di balik setiap angka ada manusia dengan cerita, kebutuhan, dan harapan mereka. Di Maluku Utara, tantangannya adalah memastikan bahwa “ekonomi angka” berubah menjadi “ekonomi rasa” di mana setiap warga benar-benar bisa merasakan manfaat pembangunan, bukan hanya membacanya lewat grafik.









