Oleh: Muhammad Zais M. Samiun
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Khairun
Kita hidup di zaman ketika angka mendominasi narasi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi 6 persen, tingkat kemiskinan 4 persen, inflasi 2 persen—semuanya disajikan rapi dalam laporan resmi dan pidato kenegaraan maupun daerah. Namun, semakin lama kita terpapar dengan “ekonomi angka”, semakin terasa ada yang hilang: rasa.
Itulah sebabnya, kini saatnya kita bicara tentang “ekonomi rasa”. Sebuah gagasan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh proses pembangunan. Ekonomi rasa bukan berarti menolak angka, melainkan menyadari bahwa angka saja tak cukup. Angka bisa menggambarkan tren, tapi rasa mengungkapkan kenyataan. Angka bisa membungkam, rasa bisa bersuara. Terutama di Maluku Utara, gagasan ini relevan lebih dari sebelumnya.
Bayangkan seorang ibu di Pulau Taliabu yang harus menempuh belasan kilometer hanya untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar. Atau seorang petani di Morotai yang pendapatannya stagnan meski investasi tambang di provinsinya terus meningkat. Mereka mungkin tidak “tercatat miskin” dalam statistik, tetapi kenyataan hidup mereka mengatakan sebaliknya.
Inilah mengapa ekonomi rasa penting: karena ia memperhatikan apa yang dirasakan masyarakat, bukan hanya apa yang terlihat dalam angka. Ekonomi rasa bertanya: apakah masyarakat merasa hidupnya lebih tenang? Apakah anak-anak mereka lebih mudah mengakses pendidikan? Apakah harga kebutuhan pokok terasa terjangkau? Apakah masyarakat merasa dilibatkan dalam pembangunan, atau hanya menjadi penonton?
Di Maluku Utara, pembangunan fisik memang tampak meningkat. Infrastruktur pelabuhan dan jalan baru, mulai dibangun. Namun di sisi lain, masyarakat masih menghadapi ketimpangan layanan dasar, mahalnya biaya logistik antarwilayah, dan rendahnya daya saing tenaga kerja lokal. Ekonomi tumbuh, tapi tidak semua merasa ikut tumbuh.
Baca Juga:
Ekonomi Angka: Antara Capaian Statistik dan Realitas Lapangan
Ekonomi rasa juga menyentuh dimensi kultural dan psikologis. Banyak masyarakat yang merasa “terpinggirkan” di tengah euforia investasi. Mereka merasa seperti tamu di tanah sendiri. Ketika kawasan-kawasan industri berdiri megah, warga sekitar bertanya: “Di mana ruang kami dalam pembangunan ini?” Perasaan ini tidak muncul dalam survei ekonomi, tetapi sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas, bagaimana membangun ekonomi rasa?
Pertama, dengarkan masyarakat. Pemerintah daerah dan pengambil kebijakan harus aktif membuka ruang dialog dengan warga, terutama di desa-desa terdampak investasi besar. Tidak cukup hanya dengan forum formal, pendekatan partisipatif dan etnografis harus diperkuat agar suara minoritas tidak tenggelam dalam agregat statistik.
Kedua, ubah indikator keberhasilan pembangunan. Jangan hanya terpaku pada PDRB dan kemiskinan absolut. Ukur juga tingkat kepuasan warga terhadap layanan publik, persepsi keadilan distribusi pembangunan, dan kualitas lingkungan hidup. Jadikan kebahagiaan sosial dan keadilan ruang sebagai bagian dari evaluasi kinerja pemerintah.
Ketiga, bangun kebijakan yang empatik dan kontekstual. Di Maluku Utara yang merupakan wilayah kepulauan, pendekatan daratan tidak bisa serta-merta diterapkan. Transportasi antarpulau, keberlanjutan laut, dan ekonomi lokal yang berbasis komunitas harus menjadi perhatian utama.
Ekonomi rasa menuntut kita untuk tidak hanya berpikir dalam kerangka makro, tapi juga melihat dari jendela rumah warga. Ketika masyarakat merasa dihargai, didengar, dan diberdayakan, maka pembangunan akan berakar kuat. Tidak hanya tumbuh di atas kertas, tetapi hidup dalam rasa yang nyata.
Ekonomi rasa mengajak kita tidak menolak kemajuan, tapi mengukurnya dengan hati. Karena indikator terbaik dari pembangunan bukan hanya grafik yang naik, tapi jumlah senyum yang bertambah. Dan bahwa pembangunan bukan sekadar tentang angka-angka besar, tetapi tentang kehidupan-kecil-yang-lebih-baik. Itulah esensi dari ekonomi rasa.
Ekonomi rasa mengingatkan: ukuran keberhasilan bukan hanya kilometer jalan, tapi berapa anak bisa sekolah lebih mudah, nelayan bisa jual hasilnya lebih cepat, dan warga merasa lebih bermakna. Ekonomi rasa melengkapi angka dengan wajah manusia. Agar kebijakan tak kehilangan arah, agar data punya makna. Rasa adalah barometer sosial. Ketika subsidi pendidikan tak tepat, dana desa habis untuk seremoni, dan rakyat tetap kesulitan membeli beras, maka rasa kecewa tumbuh. Ekonomi rasa menuntut kita mendengar ruang warung kopi, tanya pada nelayan, dengar keluhan ibu pasar.
Seorang ibu penganyam pandan tak tahu “indikator kesejahteraan” tapi tahu mahalnya pendidikan. Ekonomi rasa memberi tempat pada suara kecil yang menyimpan inspirasi besar. Pembangunan harus merangkul mereka: dengarkan, libatkan, akui sebagai rekan. Karena dari pinggiran, sering kali cahaya berasal. Perubahan sejati tumbuh dari bawah. Dari warga yang berhenti berharap, lalu mulai bertindak. Mereka membangun sekolah, koperasi, kebun sagu, jalur air. Ini ketahanan sosial. Ini harapan yang tak mati.
Pembangunan bukan soal seberapa cepat kita tumbuh, tapi ke mana arah kita melangkah. Ekonomi angka adalah alat, bukan tujuan. Ekonomi rasa adalah cara memberi makna. Di Maluku Utara, ekonomi rasa berarti: membangun dari kebutuhan warga, mengukur keberhasilan dari keseharian, menghargai inisiatif lokal, dan mendengar suara dari kampung. Ekonomi rasa adalah manifesto bahwa pembangunan harus berwajah manusia. Ia bukan milik elit, tapi milik rakyat. Bukan sekadar RPJMD, tapi kehidupan sehari-hari. Dan bila rakyat bisa berkata: “Ini pembangunan kami. Ini bagian hidup kami.” maka saat itu, kita tahu ekonomi rasa bukan sekadar narasi. Ia telah menjadi kenyataan.









