Tiga Bulan Tanpa Air di Desa Kira: Pemerintah ke Mana?

Opini444 Dilihat

Oleh: Ibnu Furqan

Tiga bulan sudah warga Desa Kira, Halmahera Utara, hidup tanpa air bersih. Sebelumnya, saya telah menulis opini berjudul “Ironi Dua Bulan Tanpa Air di Desa Kira”. Namun sayangnya, tulisan tersebut tampaknya tidak menggugah nurani para pemangku kepentingan, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten. Jeritan warga yang bertahan hidup tanpa air bersih tampaknya hanya dianggap angin lalu.

Selama hampir 90 hari, warga Desa Kira menggantungkan hidup pada telaga yang jauh, menadah air hujan, atau meminta air dari sumur bor milik warga lainnya. Realita getir ini bukan akibat bencana alam, melainkan buah dari kelalaian sistemik yang dipelihara oleh aparatur pemerintahan di berbagai tingkatan.

Tiga bulan bukanlah waktu singkat. Itu adalah 90 hari warga hidup dalam keterbatasan air, hak paling mendasar sebagai manusia. Pemerintah yang seharusnya hadir sebagai solusi, justru absen dalam diam yang memekakkan.

Pemerintah Desa, sebagai perpanjangan tangan negara yang paling dekat dengan rakyat, justru tampil sebagai simbol keacuhan. Alih-alih bergerak cepat dan tanggap, yang terdengar hanyalah kalimat klise: “nanti diupayakan”. Padahal, janji seperti itu tanpa aksi hanyalah candaan pahit di tengah penderitaan.

Mari kita berhitung. Dengan estimasi 100 liter air dibutuhkan per keluarga per hari, maka untuk 330 kepala keluarga di Desa Kira dibutuhkan sekitar 33.000 liter air setiap harinya. Dalam tiga bulan, itu berarti sekitar 2,9 juta liter air yang gagal disuplai. Ini adalah defisit air yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten.

Kondisi ini semakin ironis ketika Pemerintah Kecamatan justru tidak menjalankan perannya sebagai mediator. Padahal, camat sebagai koordinator wilayah memiliki kewenangan untuk mengintervensi dan memanggil kepala desa guna mencari solusi bersama dengan dinas terkait, seperti PDAM di tingkat kabupaten. Namun, inisiatif tersebut tak pernah terlihat. Pemerintah Kecamatan lebih nyaman bersembunyi di balik dinding birokrasi daripada menjemput jeritan rakyat.

Baca Juga:

Pembangunan Masjid di Desa Pas Ipa Mangkrak, Mahasiswa Desak Audit Anggaran

Air Putih di Malam Jumat: Analisis Antropologis Tradisi di Maluku Utara

Lebih parah lagi, Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara juga tidak menunjukkan reaksi yang memadai. Ketidaktahuan bukan alasan. Ini adalah bukti nyata gagalnya sistem informasi dan pengawasan dari atas ke bawah. Apakah para pengambil keputusan di kabupaten ini sedang terbuai dalam euforia angka statistik ekonomi, sehingga lupa bahwa air adalah indikator kesejahteraan yang paling nyata?

Krisis ini bukan semata soal kelalaian administratif. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat (1) menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang sehat, termasuk akses terhadap air bersih. Demikian pula dalam UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, negara wajib menjamin kebutuhan pokok air bagi rakyat.

Lebih jauh lagi, Indonesia telah berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Goal 6, yang menargetkan ketersediaan dan pengelolaan air bersih untuk semua pada tahun 2030. Namun apa artinya komitmen global jika di Desa Kira, rakyat kita dibiarkan kehausan selama tiga bulan?

Yang terjadi di Desa Kira bukan hanya krisis infrastruktur, melainkan krisis kepercayaan. Ketika negara gagal memenuhi kebutuhan paling dasar rakyatnya, maka yang mati bukan hanya sumber air, tetapi harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah.

Sudah cukup dengan janji kosong dan basa-basi birokratis. Warga Desa Kira tidak butuh pidato, mereka butuh aksi nyata: kirimkan tangki-tangki air, perbaiki infrastruktur yang rusak, dan lakukan audit menyeluruh terhadap kinerja aparat desa hingga kecamatan.

Air adalah sumber kehidupan. Ketika ia berhenti mengalir karena kelalaian, maka yang sekarat sesungguhnya adalah legitimasi pemerintah di mata rakyatnya. Jangan biarkan ironi ini terus berulang. Karena ketika air tak lagi mengalir, rakyat akan belajar bahwa suara mereka tak lagi didengar, dan itulah awal dari keruntuhan kepercayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *