Kinerja Logistik Maritim Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Utara

Opini104 Dilihat

Oleh : Chairullah Amin dan Fahima Naser
(Dosen Ilmu Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unkhair, Ternate)

Indonesia sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan dalam mewujudkan sistem logistik maritim yang efisien. Menurut laporan Logistics Performance Index (2018) kinerja logistik Indonesia memiliki beberapa kelemahan yaitu jarak tempuh untuk melakukan ekspor dan impor relative jauh, integrasi kawasan industri dengan infrastruktur pelabuhan masih lemah, load time, jumlah dokumen, dan waktu clearance relatif masih tinggi. Biaya logistik yang tinggi terjadi akibat dari biaya transaksi yang terjadi pada pelabuhan kontainer meliputi biaya dokumen, fee administrasi buat custom clearence dan technical control, fee buat custom broker, charges buat terminal handling, dan transportasi darat (Cho. 2014). Selain itu, rantai logistik yang tidak terkordinir menyebabkan biaya transportasi meningkat akibat jumlah muatan kontainer yang kembali dalam keadaan kosong (Mohamed-Chérif dan Ducruet 2016). Faktor lain yang menyebabkan biaya logistik tinggi adalah operasional pelabuhan yang tidak efisien seperti biaya pemeliharaan, prosedural pabean yang panjang, rendahnya partisipasi dari sektor swasta serta tingginya biaya transportasi antar wilayah.Oleh karena itu, permasalahan biaya transportasi, sistem transportasi yang buruk dan ketepatan waktu (timeliness) dalam rantai pasok merupakan komponen dari sistem logistik yangdapat berdampak pada peningkatan biaya logistik.

Wilayah yang berkarakteristik pulau-pulau kecil dan kepulauan, permasalahan seperti jadwal kapal yang tidak teratur, biaya transportasi laut yang tinggi, dan moda transportasi yang minim, keterisolasian pulau-pulau dari pusat ekonomi serta layanan jasa permintaan akan rantai pasok yang tidak memuaskan merupakan hambatan untuk meminimalisasi biaya logistik (Briguglio 1995; Kerr 2005). Untuk kasus wilayah kepulauan Provinsi Maluku Utara, penulis menemukan bahwa faktor tenaga kerja buruh, biaya bongkar muat barang yang mahal, serta biaya angkutan laut yang tinggi mempengaruhi kinerja perekonomian pulau. Produktivitas buruh pelabuhan yang rendah dan keberadaan jumlah tenaga kerja buruh yang kurang efektif berdampak terhadap pendapatan buruh yang sedikit. Banyak buruh yang menganggur ketika kargo yang dibongkar dalam jumlah sedikit. Tidak seimbangnya jumlah barang yang dibongkar maupun yang dimuat dengan jumlah buruh berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh oleh buruh sehingga hal tersebut membuat organisasi buruh lokal membatasi penambahan tenaga kerja baru.

Karakteristik struktur ekonomi wilayah cukup menentukan tingkat throughput (jumlah barang muatan) sehingga berdampak pada penyerapan jumlah tenaga kerja buruh pelabuhan. Penyerapan tenaga kerja lebih besar terjadi di wilayah pelabuhan yang mengandalkan sektor manufaktur dibandingkan dengan wilayah yang mengandalkan sektor industri jasa. Di Provinsi Maluku Utara, Kota Ternate dan kabupaten Halmahera Utara yang mengandalkan sektor perdagangan dan jasa memiliki jumlah kunjungan kapal dan jumlah muatan barang yang relatif lebih banyak dari kabupaten Morotai, Tidore, Halmahera Selatan dan Sanana yang mengandalkan sektor perkebunan sebagai leading sektornya. Jumlah buruh yang bekerja di pelabuhan Ternate dan Tobelo, Halmahera Utara lebih banyak dibandingkan dengan jumlah buruh yang bekerja di pelabuhan lainnya. Sementara kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah yang mengandalkan sektor perkebunan dan pertambangan biji nikel sebagai basis ekonomi daerahnya relatif lebih sedikit dalam menyerap tenaga kerja buruh pelabuhan.

Faktor lain yaitu biaya bongkar muat barang dan biaya angkutan laut yang tinggi berdampak terhadap penurunan pendapatan per kapita masyarakat pulau. Penulis menghitung semakin tinggi biaya bongkar muat barang sebesar Rp 1, semakin rendah PDRB per kapita pulau sebesar Rp 1.5021. Demikian pula dengan biaya transportasi laut, kinerja perekonomian pulau dalam bentuk PDRB per kapita dapat menurun sebesar Rp 0.8729 jika terjadi kenaikan biaya transportasi laut sebesar Rp 1.

Besaran tarif biaya bongkar muat setiap pelabuhan berbeda-beda disesuaikan dengan peralatan bongkar muat, upah tenaga kerja bongkar muat, dan fee operator pelabuhan. Untuk pelabuhan pulau yang kurang memiliki fasilitas alat bongkar maka proses pengangkutan barang dari kapal ke truk di dermaga menggunakan tenaga manusia (full intensif labour) dimana barang di pikul secara fisik oleh buruh. Proses ini menyebabkan biaya angkut buruh per unit/ton relatif lebih mahal. Upah tenaga kerja buruh di hitung berdasarkan beberapa indikator yaitu upah minimum kabupaten/kota, tunjangan transportasi, makan, dan beras. Indikator ini sangat terkait dengan tingkat harga barang kebutuhan pokok yang berlaku di pulau. Jika inflasi di pulau tidak mampu dikendalikan maka berdampak pada tuntutan untuk menaikkan upah buruh pelabuhan. Jika upah buruh mengalami kenaikan maka beban biaya logistik semakin besar dan membuat pengusaha akan menaikkan harga di tingkat konsumen. Mata rantai inflasi di pulau semakin sulit untuk dikendalikan.

Demikian pula halnya dengan biaya transportasi laut. Faktor geografi pulau yang jauh dari pusat pasarnya menyebabkan keterisolasian yang berdampak pada tingginya biaya transportasi laut. Briguglio (1995) menjelaskan sifat keterpencilan pulau-pulau mengakibatkan permasalahan yang terkait dengan transportasi dan komunikasi meningkat, dimana biaya transportasi per unit untuk melakukan hubungan perdagangan dengan wilayah luar relatif lebih tinggi dikarenakan wilayah pulau-pulau terpisah dengan lautan sehingga menjadi hambatan bagi proses pengangkutan untuk kegiatan ekspor dan impor. Aktivitas rantai pasok barang menjadi kurang memuaskan karena keterisolasian pulau membuat permintaan tepat waktu (just in time) dalam rantai pasok modern sulit untuk dicapai (Kerr 2005).

Skala ekonomi pulau yang relatif kecil dimana jumlah kargo muatan barang yang akan dijual ke luar pulau relatif sedikit berdampak pada biaya transportasi laut per unit yang tinggi. Tarif angkutan barang lebih tinggi dikenakan ketika membawa muatan dari pelabuhan asal menuju pelabuhan tujuan pulau dibandingkan dengan biaya angkut ketika akan balik. Sebagai contoh biaya angkut barang untuk pelabuhan Bacan kabupaten Halmahera Selatan dengan rute Surabaya-Bacan sebesar Rp 14.5 juta per kontainer lebih mahal ketika akan balik yang hanya dikenakan Rp 7.5 juta per kontainer. Demikian pula halnya dengan biaya angkutan rute Surabaya tujuan Ternate dimana biaya per kontainer sebesar Rp 13 juta sementara biaya angkut dari Ternate ke Surabaya lebih murah yaitu sebesar Rp 7 juta per kontainer. Dalam hal ini, pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan untuk mengatur tarif angkutan laut antar wilayah yang dinilai sangat tidak efisien. Penetapan biaya angkutan ini secara sepihak ditentukan oleh pemilik kapal berdasarkan pada komponen biaya operasional kapal selama di laut dan di pelabuhan.

Biaya transportasi laut yang tinggi menyebabkan ekonomi pulau menjadi tidak efisien. Ketidakefisiensi ekonomi pulau sangat terkait dengan kerentanan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil. Ukuran kecil (smallness) yang dimiliki oleh pulau menghasilkan beberapa situasi yang tidak menguntungkan secara ekonomi seperti keterbatasan sumberdaya alam dan impor yang tinggi, keterbatasan dalam kemampuan melakukan substitusi impor, pasar domestik kecil dan ketergantungan pasar ekspor, ketergantungan terhadap komoditi produk yang terbatas, kemampuan terbatas untuk mempengaruhi harga, keterbatasan kemampuan untuk mengembangkan skala ekonomi, keterbatasan dalam persaingan domestik, dan permasalahan administrasi publik (Briguglio 1995). Disamping itu, jumlah penduduk pulau yang sedikit menyebabkan tingkat permintaan (demand side) relatif sangat rendah. Selera konsumsi terhadap jenis komoditas barang yang dibutuhkan tidak begitu beragam sehingga sifat ekonomi masyarakat pulau cenderung homogen. Fernandes dan Pinho (2017) menyebut faktor smallness dan sebagai daerah periphery dari pusat ekonominya menyebabkan pulau-pulau kecil sangat bergantung terhadap bantuan diwilayah lain atau wilayah pusatnya. Karena itu, penguatan konektivitas merupakan solusi pulau-pulau kecil untuk mencegah dari keterisolasian agar perekonomian dapat bergerak secara efisien menjangkau pasarnya.

Ketidakefisiensi ekonomi pulau disektor maritim dapat dilihat dari keterbatasan dan ketidakpastian dalam sisi suplai. Lemahnya kemampuan masyarakat pulau dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi produk unggulan lokal berdampak pada jumlah throughput barang yang dimuat untuk dijual ke luar pulau. Jumlah barang yang dimuat relatif lebih kecil dari jumlahbarang yang dibongkar. Hanya pulau yang memiliki sumberdaya alam di sektor pertambangan yang memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan produksi dalam skala besar. Seperti wilayah Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, dua wilayah ini memiliki produksi tambang nikel yang besar sehingga jumlah barang dimuat lebih besar dari barang yang dibongkar.

Foto : Kontainer Tol Laut di Pelabuhan Tidore (Istimewa)

Tabel 1. Throughput Kargo Pelabuhan Kabupaten (Ton) 2016-2108

Wilayah Pelabuhan

Rata-Rata Throughput (2016 – 2018)

Kontainer

Bongkar (Ton)

Muat (Ton)

Ternate

498,064

19,600

Ya

Tidore  

16,860

9,204

Ya

Halmahera Selatan

41,526

18,950

Ya

Halmahera Tengah

96,228

174,124

Tidak

Halmahera Timur

2,562

2,584,352

Ya

Halmahera Utara

131,795

276,420

Ya

Morotai

71,822

9,599

Ya

Kepulauan Sula  

50,538

20,335

Tidak

Sumber: Kantor Unit Penyelenggaran Pelabuhan, 2019

Besanya jumlah barang yang dibongkar dibandingkan dengan jumlah barang yang dimuat mengilustrasikan bahwa sebagian besar kebutuhan ekonomi masyarakat pulau-pulau harus didatangkan dan diangkut dari luar wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan McElroy bahwa masyarakat pulau menghasilkan apa yang tidak mereka konsumsi dan mengkonsumsi apa yang tidak mereka produksi (Kerr 2005). Ketidakpastian jumlah barang yang dimuat menyebabkan waktukedatangan kapal menjadi tidak pasti, muatan kapal seringkali kosong sehingga biaya angkutan untuk barang yang didatangkan dari luar menjadi lebih mahal. Untuk mengantisipasi perubahaan permintaan yang mendadak, dalam sekali angkut, pengusaha lokal dan pedagang dipulau harus membeli barang dalam jumlah besar sehingga beban biaya logistik bertambah untuk menyewa gudang dan tenaga kerja.

Foto : Aktivitas Bongkar Muat di Pelabuhan Tidore (Istimewa)

Biaya logistik maritim yang tinggi sangat tidak efisien karena dapat menjadi hambatan bagi pengembangan ekonomi khususnya peningkatan investasi di daerah. Pengelolaan pelabuhan yang tidak efisien dapat meningkatkan tambahan biaya yang tinggi sehingga beban biaya logistik maritim meningkat. Biaya logistik yang mahal dapat berdampak negatif terhadap kemampuan pulau ketika ingin melakukan kerjasama perdagangan dengan wilayah lain. Aliran perdagangan komoditas cenderung mengalir ke daerah yang menawarkan jasa logistik maritim yang murah. Sebaliknya, wilayah yang memiliki sistem jasa logistik maritim yang mahal relatif ditinggalkan oleh pasar dimana aliran barang tidak mengalir ke daerah tersebut.

Karena itu, biaya logistik maritim yang tinggi tidak menguntungkan bagi pembangunan perekonomian pulau. Pemerintah sebaiknya memfasilitasi pembangunan industri antar pulau yang berorientasi pada ekspor, dan mengevaluasi regulasi yang dianggap menjadi hambatan bagi kalangan pebisnis dan investor. Penegakan aturan dan pengelolaan pelabuhan yang baik diharapkan dapat meningkatkan kinerja sektor ekonomi logistik maritim pulau yang lebih efisien. Faktor infrastruktur pelabuhan seperti peningkatan kapasitas dermaga, teknologi alat bongkar muat barang, gudang pendingin, dan SDM maritim yang handal sangat dibutuhkan untuk mengurangi inefisiensi sehingga ekonomi pulau-pulau dapat berkembang maju dan berdaya saing. Kebijakan pengembangan pulau-pulau kecil harus menekankan pada kekuatan sumberdaya lokal yang dimiliki, dengan tujuan untuk mengurangi biaya transportasi, menghasilkan proses diversifikasi produk yang tinggi sehingga terjadi transaksi perdagangan dengan keragaman produk dengan daerah lain, menciptakan produk berbasis pada masyarakat dan pengetahuan lokal sehingga tercipta interdependensi ekonomi lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *