Oleh: Yusril Buang
Penulis Adalah Ketua Umum HMI Komisariat (P) K.H Ahmad Dahlan Fakultas Hukum UMMU Ternate
Dunia pasca kebenaran sebagai terjemahan dari istilah Post Truth menjadi babak baru dunia manusia saat ini. Bahwa dunia lain yang di ciptakan oleh manusia ini ternyata telah berhasil memasuki hajat hidup kehidupan manusia. Era Post Truth mendapati wadahnya ketika manusia beralih aktivitas dari dunia nyata ke dunia virtual. Manusia begitu semangat merespon perubahan zaman ini. Padahal manusia tau dunia ini tidak akan menumbuhkan padi dan tumbuhan lain sebagai sumber kehidupan manusia, juga tidak ada sumber air yg mengalir disana tapi betapa era baru ini memicu daya tarik manusia untuk mencari sumber hidup di dalamnya.
Riset membuktikan bahwa, populasi penduduk bangsa Indonesia yang berkisar 272.229.372 Juta jiwa, terdapat , 212,35 juta jiwa telah menggunakan Internet/Gadget sebagai instrumen menjalani hidup dan kehidupan.(https://databooks.katadata.co.id). Mulai dari anak-anak hingga tingkat orang tua. Bagaimana tidak, formula gadget yang di setting sedemikian rupa ini hampir menjawab seluruh kebutuhan manusia bahkan yang paling kecil sekalipun coba di setir oleh makhluk tak bernyawa ini.
Jika di telaah lebih jauh, apa yg di tinggalkan manusia ketika beralih pada dunia nyata ke dunia virtual? Adalah pertanyaan sederhana yang mesti di Jawab secara objektif
Dalam kajian post Truth, peralihan aktivitas manusia dari Dunia nyata ke dunia virtual telah meninggalkan elemen integral dalam kehidupan manusia, dalam hal ini rasionalitas dan objektivitas cara berfikir dalam mempersepsi realitas. Karakteristik cara berfikir masyarakat post truth lebih menggunakan keyakinan dan emosionalnya ketimbang rasionalitasnya, akhirnya yang terjadi di masyarakat adalah menerima apapun wujud berita sekalipun itu Hoax/Berita bohong. Bukan tanpa sengaja, pengabaian publik terhadap instrumen Epistemologi (Kekuatan Rasio) ini terpola secara otomatis dan sistematis, yang hal ini seirama dengan invasi aktivitas manusia ke dunia virtual.
Aktivitas kehidupan manusia yang mengalami transisi baru dari dunia nyata ke dunia virtual adalah hal yang nyata terjadi. Potret kehidupan ini sudah berlangsung lama dan telah berhasil menguasai dan mengendalikan arah hidup manusia untuk hidup berdampingan dengan desain gadget/Smartphone yang luar biasa ini. Ditambah dengan usaha negara memaksakan seluruh lembaga untuk mendukung desain lewat aktivitas online.
Akibatnya, dunia modern saat ini di suguhi berbagai varian-varian informasi dari media-media mainstream yang setiap detik mensinyali berita-berita dramatis tentang virus, ekonomi, politik, kebudayaan dan lebih khususnya Pendidikan, bahkan yang paling rendah adalah berita tentang kehidupan personal artis dan selebriti. Gaya politisir berita oleh media, semisal menggeneralisasi berita personal menjadi issue publik yang mampu mendominasi issue-issue vital lainya. Konsekuensi dari semua ini adalah membuat manusia harus melakukan penyesuaian dengan invasi zaman yang terus bergelombang karena tidak mampu melawan Hegemoni negara. Fenomena ini merupakan transisi kehidupan manusia dari dunia nyata ke dunia virtual yang biasa disebut dengan Era Post-Truth atau dunia Pasca Kebenaran.
Fenomena Post Truth sebenarnya telah berkembang pada tahun 1926 oleh steve tesich ketika perang teluk di mulai, pada tahun 2016 memuncak di amerika ketika pemilihan presiden yang dipelopori oleh Donald Trump lewat kampanye politiknya, hingga ke indoinesia pada tahun 2019 kemarin di momen pemilihan presiden ketika Prabowo mendengungkan dirinya menang dalam kontestasi politik dengan jokowi lewat kekuatan media Mainstream. Dalam kajian Post Truth ini di istilahkan dengan Menggunakan Post Truth Untuk merebut kekuasaan.
Kondisi kampus di Era Post Truth
Dunia pendidikan di indonesia khususnya Sekolah Tinggi/Universitas secara keseluruhan mengikuti fatwa Pemerintah untuk melaksanakan aktivitas pendidikan secara Virtual, ini menandakan bahwa Kampus secara sadar telah terjebak pada invasi zaman yang diplintir oleh segelintir orang. Hal ini dimulai ketika Indonesia disuguhi serbuan raksasa Virus Corona (Covid-19) pada 2019 kemarin yang melarang aktivitas kerumunan manusia. Atas dasar itu, pemerintah Indonesia lewat kebijakannya menggolkan regulasi yang melarang aktivitas kerumunan sebagai upaya menghindar dari jeratan Covid-19. Sebagai konsekuensinya, upaya untuk memperlancar aktivitas negara, baik politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya semua di berlakukan secara Virtual. Kampus sebagai bagian integral dari kehidupan negara, pun menjadi lembaga yang menjadi sasaran dari efek kebijakan diatas. Dari sinilah awal pengguna Smart Phone dan Internet meningkat di Indonesia.
Sebagai Efeknya, Mahasiswa mengalami dilematis dalam memposisikan dirinya sebagai Agen Of Perubahan atau kelompok penekan karena lapangan pengabdianya telah perkosa oleh desain ini. Negara lewat Kebijakan Kampus telah memperketat sistem pendidikan Online untuk diberlakukan kepada seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. Padahal seharusnya, kampus mesti lebih dulu meriset secara ilmiah tentang kesiapan dan apa saja efek dari pemberlakuan online ini.
Kampus telah merevolusi dirinya menjadi kaki tangan negara yang beretujuan mengamankan kekuasaan kelompok, kampus telah menjadi lembaga promosi produk kapitalis, kampus semakin kesini semakin melegetimasi kebijakan negara dalam meloloskan Industri ekstra aktif lewat amdal, meminjam istilah Tom Nicols dalam bukunya yang berjudul Matinya Kepakaran menjelaskan bahwa Mahasiswa telah kehilangan daya kritis dan berubah menjadi pelanggan yang selalu benar. Bahkan kemarin, tragisnya, Publik disuguhi berita Konyol tentang 12 rektor dari UGM, UI hingga ITB yang masuk dalam Anggota Satgas Omnibus Law. Fenomena ini diistilahkan Oleh Julien Benda sebagai “Penghianatan Intelektual”
Satu hal yang disesali dari kondisi ini, adalah kepakaran seseorang Pakar terisolasi dari ruang Publik. Mereka digusur oleh Invasi aktivitas manusia dari dunia nyata ke dunia Virtual, yang dalam dunia ini, kebenaran tidak lagi di tentukan oleh keahlian seorang Pakar, tapi ditentukan oleh jumlah Pengikut, Like, Subscribe dan hal sejenisnya. Satu tingkat ke atasnya, adalah yang memiliki jabatan Politik, karena yang memiliki jabatan politik di dunia Online pun sama memiliki Jumlah pengikut, Like yang sama banyaknya.
Lewat Post Truth, Posisi pakar tergantikan oleh pakar-pakar dadakan di atas, padahal apa yang di sampaikan oleh para pakar itu didapatkan dalam penilitian panjang selama puluhan tahun. Sebagai contoh, masyarakat lebih percaya jokowi ketika berkomentar tentang vaksin ketimbang pakar yang punya spesifikasi pada bagian ini.
Ilmuan dan pakar kehilangan Eksistensinya sebagai sumber kebenaran Ilmiah atas invasi problem yang terus memuncak, posisi mereka diserang diruang publik oleh Masyarakat paling bawah dan kalangan atas dalam hal ini Pemerintah. Para ilmuan pada posisi ini mengalami dilematis untuk tetap menjaga jarak dengan keluhuran ilmu dan independensinya ataukah berkompromi dengan desakan zaman yang mengharuskan mereka untuk mencari lapangan baru diluar spesifikasinya. Sebab, para ilmuan yang secara garis besar menjadikan wilayah ini sebagai sumber pendapatan, olehnya hasil dari pergeseran ruang publik ini mengharuskan mereka untuk melakukan kompromi dengan siapa saja yang dapat menunjang pendapatanya. Disnilah titik dimana para ilmuan tetap pada pendirian keluruhan ilmu ataukah menghianati konsensus ilmuan untuk tetap berpihak pada kebenaran.
Terbukti belakangan ini, suguhan varian informasi tentang penghianatan kaum cendekiawan bermunculan di ruang publik, penyusunan AMDAL oleh segelintir dosen, Pakar yang merengkap JABATAN diluar spesifikasi, 12 Rektor Universitas ternama (ITB,UGM hingga UI) yang menjadi anggota satuan tugas membahas UU No 11 Tahun 2021 (Omnibus Law) adalah gambaran bahwa ada pergeseran fungsi pakar dan ilmuan dari lapangan mereka yang disebabkan oleh kondisi sosial saat ini.
Lalu, apakah kita harus menolak teknologi untuk mempertahankan posisi kepakaran pakar dan Indepensi kampus? Ataukah menerima teknologi tapi dengan tuntutan Over Specialisasi?
Tentu banyak diantara kita yang bergumam bahwa teknologi adalah keniscayaan zaman yang mesti digunakan dan diterima oleh manusia. Karena teknologi (Smartphone/Internet) pada substansinya mempermudah hidup manusia dalam menjalani kehidupanya. Bagi penulis, Menolak dan menerima keduanya mempunyai efek yang sama atau dengan kata lain, “Menolak ditinggal zaman dan menerima ditelan zaman”
Sikap dilematis ini saya umumkan bukan tanpa dasar, bahwa untuk menolak teknologi kita butuh tenaga ekstra dan kesiapan untuk mengisolasi diri diruang publik, pun sebaliknya menerima teknologi, kita harus siap kehidupan kita dikendalikan oleh pasangan mesra dualitas Aktor yang mengendalikan dunia tanpa batas ini.
Tidak bisa kita nafikkan, bahwa Teknologi, Media sosial (Facebook, WhatsApp, Twiter, You Tube dan lain-lain saat ini tidak murni dikendalikan oleh pemilik atau penciptanya. Desain Media sosial yang terpola secara otomatis ternyata telah diatur oleh dua pasangan mesra yang saya sebut di atas. Padahal pada awalnya Instrumen-Instrumen media diatas pada awalnya diciptakan dengan maksud mempromosi bisnis dilingkungan kampus oleh penciptanya. Tapi Orientasi Media ini berubah ketika terjadinya Tragedi Muhammad Bouazizi, seorang pemuda Tunisa yang membakar dirinya setelah polisi Tunisa membajak Barang daganganya pada 17 Desember 2010. Peristiwa kematian ini menjadi viral di Twitter dan di Facebook hingga menyulut kemarahan Publik yang menyebabkan pecahnya Demonstrasi dan kerusuhan di seluruh Tunisia. Pada akhirnya membuat Presiden Zine El Abidin Ben Ali mengundurkan diri pada 14 Januari 2011 setelah 23 tahun berkuasan. (Fika Komara,Geopolitik Digital 2021).
Gerakan yang di promotori lewat media ini menjadi instrumen baru bagi rakyat untuk memperjuangkanm haknya, bahwa facebook menjadi alat untuk menginformasikan aksi, twiter digunakan untuk menginformasikan titik kordinat aksi dan menggunakan You Tube untuk mengabarkan kepada Dunia.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, gerakan 212 kemarin adalah gerakan yang dikonsolidasikan lewat media/Facebook. Pernyataan seorang Gubernur DKI sapaan akrab Ahok yang dianggap menista agama lewat surat Almaidah ayat 51, pun memicu kemarahan Publik. Hal yang sama kasus ini diinformasikan lewat Facebook.
Dua tragedi di atas, membuat pemerintah mulai menyadari pentingnya menghendalikan dunia SmartPhone ini, dari sinilah awal perkawinan antara aktor negara dan aktor non negara (Pemilik Teknologi) dimulai. Karena kehadiran Media dianggap menjadi anacaman baru bagi keamanan dan keutuhan negara.
Maka jangan heran kalau berita Bohong/Hoax, Matinya Kepakaran, Disorientasi Dunia Kampus,permainan opini publik dengan tujuan memprovokasi masyarakat susah untuk dibendung, karena kedua pasangan mesra itu sudah terlanjur seranjang dan sebir dalam satu kamar minimalis yang mewah dan serba ada