Konsep Keadilan “Restorative Justice” Merespon Hukum Pidana Dalam Perkembangan Zaman

Opini540 Dilihat

Oleh: Zulkarnain Yoisangadzi

Penulis Adalah Kader HMI Kom. (P) K.H Ahmad Dahlan Fakuls Hukum UMMU Ternate

Seiring dengan perkembangan zaman, pola hidup masyarakat kian bergerak begitu cepat sehingga hukum hampir tidak mampu mengimbanginnya, hal ini menjadi tantangan serta tanggung jawab besar bagi pihak penegak hukum diantaranya kepolisian, jaksa, hakim, dan pengacara untuk bagai dalam mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Konsep Restorative Justice diperkirakan muncul sekitar tahun 1960-an di negara Amerika, Albert Eglash dengan pendekatan peradilan pidana yakni retributive justice, distributive justice dan restorative justice. Singkatnya konsep restorative justice pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eglash dalam jurnalnya Hariman Satria yang berjudul “Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana”. Konsep Restorative Justice sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif yakni suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.

Konsep ini lahir sebagai penyelesaian perkara pidana dengan cara berdialog antara pelaku dan korban, yang melibatkan pihak keluarga serta pihak-pihak terkait lainnya demi terciptanya penyelesaian keadilan non litigasi atau penyelesaian perkera yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan. Pendekatan penyelesaian ini dipahami sebagai metode terpenting dari penerapan keadilan dikarenakan dengan berdialog masing-masing pihak terutama korban dapat mengungkapkan apa yang telah dirasakan dari perbuatan pelaku kepadanya.

Dalam perkembangannya, penerapan keadilan restoratif diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar pengadilan tradisional. Pradigma pemidanaan awalnya dilaksanakan di Nagara-negara seperti Kanada, Inggris dan Wales pada tahaun 1970-an sebagai tindakan alternatif dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku kriminal, dimana sebelum melaksanakan sanksi, pelaku dan korban diizinkan bertemu dan berdialog secara langsung untuk menghindari sanksi yang formal.

Sehingga arah Keadilan Restorative Justice, mengarah pada sistem penerapan sanksi-sanksi pidana. Menurut Pompe, hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana. Sedikit melihat soal kasus-kasus yang berkaitan dengan tindak pidana misalanya soal penganiayaan, sudah sering kita dengar atau kita lihat di berita-berita kriminal atau mungkin ada di antara kita yang sudah pernah menjadi korban atau pelaku.

Membahas tentang tindak pidana penganiyaan diatur dalam UU No 1 Thn 1946 tentang Kitab Hukum Pidana Buku dua mengenai kejahatan. Klasifikasi atau pembagian penganiyaan dibagai menjadi 5 (lima). Penganiyaan Biasa, Penganiyaan Ringan, Penganiyaan Berencana, Penganiayaan Berat, Penganiyaan Berat Berencana dan Penganiyaan terhadap orang yang berkualitas. Dalam tulisan ini penulis fokus untuk memabahas penganiyaan ringan pasal 352 Lichte Mishandeling, Penganiayaan ringan adalah penganiyaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama tiga bulan penjara. Penganiayaan biasa disebut Maishandeling, yang arahnya tertuju pada kejahatan terhadap tubuh manusia, misdrijven tigen hit lijf. Dalam kehidupan bermasyarakat kita sering dijumpai dengan bentuk-bentuk penganiayaan ringan yang terjadi di sekeliling kita, sehingga harus berimbas di jalur hukum.

Singkatnya Negara Indonesia sudah menggunakan konsep Keadilan Restorative Justice ini. Menjadi pertanyaan hukunya adalah apakah di Negara Indonesia dalam kasus-kasuk penganiayaan ringan harus memperoleh keadilan sampai dimeja hijau ?
Menurut Puji Prayitno dalam salah satu jurnalnya berjududul “Pendekatan Restorative Justice dalam penyelesaian tindak Pidana di tingkat Penyidikan” merupakan alternatif dengan pendekatan agar pihak pelaku dan pihak korban mencari solusi terbaik tanpa melalui cara litigasi atau proses hukum yang formal.
Kedudukan kasus penganiayaan ringan sampai pada akibat yang kini diderita oleh korban tidak terlalu serius dan seberapa. Kerap penganiayaan itu sering terjadi tempat umum, tempat kerja, sekolah, kampus dll. Sehingga korban masih bisa beraktifitas seperi biasa. Tidak harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang memakan waktu berhari-hari.

Tidaklah harus kasus-kasus yang diberi standar ancaman pidana penjara hanya beberapa bulan seperti penganiayaan ringan, harus sampai di meja hijau dengan melalui proses yang rumit dan melelahkan. Itulah kenapa inisiatif dari pihak penegak hukum Kepala Badan Reserse Kriminal polda mengeluarkan SURAT EDARAN KAPORLI NOMOR :SE/8/VII/2018 TANGGAL: 27 JULI 2018 tentang Penerapan Keadilan (Restorative Justice) dalam Menyelesaian Perkara Pidana Ringan, sehingga memenuhi legalitas atau dasar hukum untuk pihak kepolisian melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggu jawab.

Menjadi paradoks norma hukum bagai pihak penyidik untuk melakukan penahanan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana ringan yang ancaman pidana hanya tiga (3) bulan penjara. Sebagai mana diketerangkan dalam pasal 352 penganiayaan dalam KUHP. Bahkan dalam KUHAP Kitab Udang-undang Hukum Acara Pidana dalam pasal 21 huruf (a) dengan keterangannya adalah penahanan tersebut hanya dapat di kenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang apabila melakukan tindak pidana dengan acaman pidana lima (5) tahun atau lebih, baru dibolehkan melakukan tindakan sedemikian. Untuk menetukan arah dan memaksa pelaku tindak pidana ringan untuk menempuh cara-cara beracara dengan malalui litigasi atau melibatkan institusi kepolisian, jaksa hakim, itu sangat sulit.

Dalam tulisan jurnalnya Puji Prayitno seorang filosof Jerman Gultaf Radburch mengajarkan “adanya asas prioritas dimana keadilan harus mendapat prioritas pertama, barulah kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum. Sehingga arahnya keadilan dengan konsep Keadilan Restorative Justice” itu lebiah baik.
Di Indonesia pendekatan Keadilan Restorative Justice sebenarnya sudah pernah digunakan baik dalam tata kehidupan masyarakat, komunitas kergamaan maupun lingkungan sosial. Cara mendamaikan pihak korban dan pelaku, tanpa melibatkan institusi formal. Hanya saja legalitasnya atau dasar hukumnya belum tertata rapi dan jelas. Kini Negara Indonesia telah memasuki sistem pemidanaan babak baru. Apresiasi besar kita terhadap pihak penegak hukum Kepala Badan Reserser Kriminal Polda dengan mengeluarkan Surat Edaran Kaporli tersebuat yang sudah di jelaskan di atas. Sehingga tidak lah harus kejahatan-kejahatan tindak pidana yang di katagorikan masuk tindak pidana ringan seperti penganiayaan ringan melaluli cara formal.

Dengan begitu terpenuhinya prinsip dasar keadilan restoratif (Restorative Justice) yang mana pemulihan kepada korban menderita akibat kejahatan sedemikian. Proses ganti rugi kepada korban terealisasi, kepada pelaku akan melakukan kerja sosial sebagai gantinya atau kesepakatan kesepakatan lain yang tidak berat sebelah dan tidak memihak. Satjipto Rahardjo Beliau menegaskan hukum itu bukanlah sekedar bangunan peraturan, melainkan juga melihat ide, kultur, dan cita-cita hukum sejatinya ada pada manusianya. Negara Indonesia tidaklah harus menggunakan sistem pemidanaan pembalasan pada korban. Dengan menganut Teori pemidanaan Absolut yang mana dikembangkan pada pada abad 18 untuk membrantas kejahatan-kejahatan dengan penjatuhan sanksi pidana yang setimpah “nyawa dibayar nyawa”. Tidaklah dalam praktek peradilan semua kasus harus berujung pahit di penjarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *