Oleh: Awan Malaka
(Pengurus Literasi Kaum Muda LKM Desa Sakam, Halmahera Tengah)
Ditengah proses panjang operasi pertambangan hingga lajunya deforestasi hutan, masyarakat malah disibukkan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan masifnya wacana politik 2024, diantaranya seperti momentum pilkades, legislatif, pilkada dan pilpres.
Pertarungan wacana politik dari pelbagai partai elektoral untuk mengejar posisi strategis di setiap-sendi kekuasaan, dinilai lebih dominan didibanding menyikapi segala petaka yang datang silih berganti.
Bermula dari politik. Sesungguhnya politik merupakan instrumen kemanusiaan dalam mengiringi perubahan sosial masyarakat. Dan atau politik sebagai alat rasional yang dipergunakan untuk mencapai negara ideal menuju cita-cita kolektif, terutama adalah keadilan ekonomi yang terus berkontradiksi seiring bergantinya kebijakan negara.
Menilik model paradigma Politik yang diseruhkan oleh salah seorang pencetus Republik Indonesia, Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka namanya.
Sebagaimana digambarkan melalui Filsafat Politiknya, bahwa dalam esensi politik ditemukan ada tiga poin, pertama, adalah negara yang merdeka dan berdaulat, kedua, bentuk negara transisi dari kapitalisme ke sosialis (negara yang lebih cenderung pada kepentingan sosial), ketiga, sistem ekonomi yang adil dalam sarana produksi.
Apabila sistem politik seperti halnya dapat diamalkan oleh rezim Jokowi-Ma’ruf, tentu negara akan mengutamakan keadilan dan penuh kebijaksanaan.
Kata lainnya, jika kedaulatan rakyat selalu terjaga untuk kepentingan publik, maka lahirlah keseimbangan kepentingan antar kelas sosial.
BBM: Pekan lalu, keputusan Presiden Jokowi terkait kenaikan harga BBM resmi ditetapkan dan umumkan melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Progres kebijakan ini sangat disayangkan lantaran menjadi alasan utama bagi masyaraka Indonesia dalam meniti perjalanan panjang di tanah ibu.
Padahal BBM merupakan salah satu jenis kebutuhan pokok, seperti pertalaite dan pertamax. Juga listrik salah satunya. Resistensi perjuangan hidup masyarakat tentunya akan berakibat fatal, terutama disektor pertanian dan perikanan.
Dengan masifnya investasi pertambangan di Indonesia bagian Timur, Maluku-Papua, khusunya Maluku Utara, nampak nyata bahwa tanah milik pribumi dikeruk satu persatu secara massal tanpa memperhatikan bagaimana kondisi ekologi lingkungan dan masa depan masyarakat sekaligus ancamannya.
Karena itu, juga harga 9 sembako pun menjadi alasan fundamental persis seperti harga BBM yang barusan melonjat melampaui pendapatan masyarakat.
Dalam pemetaan, keputusan Pemerintah dinilai tidak murni dalam pengambilan kebijakan, sebab, ada hal-hal politis yang memodifikasi posisi organisasi pemerintahan, baik tingkat nasional, regional maupun lokal.
Dari semua kebijakan negara, terlihat serba instan lantaran diduga dilatar belakangi dengan kepentingan partai politik oligarki dan investasi. Ini sebenarnya umpan politik menuju momentum demokrasi 2024 mendatang.
Coba lihat orde lama, Ir. Soekarno dimasa jabatannya disebutkan tak lagi berfungsi dengan alasan sakit yang dialaminya, akhirnya beliau diseret melalui pembantaian 7 jenderal pada tanggal 3 September atau disebut G30S tahun 1965. (Manajemen konflik).
Hingga di tahun 1967, tepat pada tanggal 20 November terjadi peralihan kekuasaan (orde baru).
Orde baru adalah rezim Soeharto, dimana setelah Indonesia dipimpin beliau, terbukalah pintu salah satu nvestasi raksasa tingkat dunia milik Amerika, yaitu PT. Freeport di Papua Indonesia Timur.
Padahal, seyogyanya orde baru lebih parah meninggalkan rekam buruk lantaran terjadi krisis di berbagai sektor, atau akrab dikenal krisis moneter.(Dampak kepentingan kelompok).
Puluhan tahun roda pemerintahan dibawah Soeharto, namun berakhir lemah melindungi jalanya puluhan investasi selain masa depan Freeport, maka krisis moneter itu didesain sebagai jalur alternatif untuk mempersiapkan figur-figur publik yang berelasi kuat dengan korporat. Artinya, dari berbagai kebijakan buruk (moneter) yang lahir dari pemerintah merupakan dampak politis dari proses jalanya investasi berkelanjutan.
Paska itu diganti BJ. Habibie konon mereformasikan seluruh sistem tata negara, namun macet, lantaran patah kiri patah kanan. Beliau pun dianggap lemah hingga oknum-oknum internasional maupun nasional (oligarki vs kapitalisme) mendesain tragedi human sosiaty (sosial kemanusiaan) hingga memicu pertumpahan darah, kelaparan, ketidakadilan, yang, mengakibatkan Timor Leste referendum pada tahun 1999 dan dinyatakan merdeka di tanah air sendiri pada tahun 2002.
Dari transisi ke transisi kepemimpinan hingga Jokowi-Ma’ruf hari ini, pun kita alami hal yang sama. Dua periode pimpin Indonesia, namun selama itu pula masyarakat semakin termarjinalkan, menderita, tambah dimiskinkan, tertindas karena negara kerap memprioritaskan kepentingan investasi.
Presiden Jokowi acap kali dinilai seperti setir, sementara Wapres Ma’ruf diposisikan layaknya bak kendaraan. Itulah salah satu faktor yang mudah diatur oleh korporat/para jenderal pemegang saham dari hulu ke hilir sehingga beliau dipertahankan untuk menuju tiga periode.
Tapi issue ini berhasil dipatahkan lintas kalangan. Oleh karenanya, Jokowi tak memiliki peluang menuju tiga periode atau tidak lagi berfungsi karena massa jabatannya akan berakhir, maka selain kenaikan harga 9 sembako, juga harga BBM kembali di desain matang yang secara langsung menggantungkan warga kelas bawa pada posisi dilematis.
Harganya tak beraturan, bisa dikatakan melampaui pikiran apalagi soal pendapatan masyarakat. Artinya, pendapatan sangat kecil dibanding pengeluaran.
Situasi ini didesain menuju momentum politik 2024 dimana korporat dan elit politik mencari celah mematangkan figur oligarki untuk bisa mengamankan kepentingan investasi dengan teknik jitu, mengacaukan kebijakan negara melalui BBM yang hari ini menjadi issue urgen bahkan bersifat emergensi.
Satu hari yang lalu, lewat media nasional, sejumlah kelompok politisi dan beriokrat beri sinyal bahwa Jokowi harus turun dari jabatannya karena belakangan ini masyarakat tak lagi percaya model kepemimpinannya. Ini disampaikan karena berdasarkan dengan aturan TAP UU Tahun 2000.
Nah, poin tersebut lambat laun akan dikampanyekan secara gerilya melalui pergulatan sosial ditengah urgensinya BBM. Padahal, sesungguhnya ini merupakan kepentingan investasi yang turut dilegitimasi oleh Jokowi-Ma’ruf dan antek-anteknya.
Di Maluku Utara. Daerah yang satu ini beridentitas rempah-rempah. Ironisnya, penguasa tidak ada inisiatif untuk menjaga identitas tersebut malah sebaliknya, kini dipusatkan sebagai laga industri ekstraktif (pertambangan) setelah di Papua, Morowali dan Kalimantan.
PT. IWIP misalnya. IWIP merupakan investasi raksasa urutan kedua di Asean yang beroperasi di Tanjung Ulie-Ulie Kecamatan Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Lelilef awalnya sudah dieksploitasi oleh PT. WBN dan Tekindo, dan bahkan lebih parah setelah kehadiran IWIP. Seperti satu Sungai yang berdekatan dengan Lelilef Sawai-Waibulan nampak terlihat kering dan dikelilingi pagar beton sebagai kawasan IWIP.
Tidak hanya itu, juga seperti krisis air bersih, sampah bertaburan, ancaman polusi, buruknya drainase, macet, dan atau krisis lingkungan di daerah setempat.
Tragedi Gowonle: Yang menjadi perhatian penulis, ialah setelah hadirnya PT. IWIP ditetapkan sebagai alat vital negara itu, wilayah Patani di beberapa tahun lalu terus terjadi teror dilakukan oleh OTK terhadap masyarakat pesisir.
Model situasi seperti ini dimana ekspansi IWIP di Halmahera semakin berleluasa, membuka jalur hingga menembus akejira, ekor, dan atau di tengah belantara Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Alhasil, dalam proses masifnya operasi perusahaan dengan serentak terjadi peristiwa pembantaian hingga menghilangkan nyawa tiga warga Patani pada tanggal 20 Maret 2021.
Peristiwa tragis yang dikenal sebagai tragedi gowonle ini melibatkan salah seorang TNI (korban selamat). Sepaksa itu, anggota TNI hilang jejak entah bertugas kemana. Sebagai aparat keamanan dirinya mestinya bertanggungjawab atas nama aparat kemanan sebelum pergi tinggalkan duka masyarakat.
Lebih mirisnya, masyarakat terdampak tragedi terkhususnya di Patani Timur, Halmhahera Tengah, alami ancaman serius di sektor perkebunan selama satu tahun lebih terhitung paska tragedi hingga hari ini.
Beberapa bulan lalu, sejumlah aktor-aktor politik diduga adalah pejabat publik secara geriliya mendeklarasikan kaplingan dihadapan Masyarakat Patani Timur, hingga sebagian dari pihaknya menjadi donator alias menggelontorkan anggaran untuk membiayai masyarakat saat melakukan proses kapling di belantara hutan Patani Timur.
Perlu diketahui, dari masifnya wacana politik 2024 tingkat Senayan, Provinsi, Kabupaten, sampai ke Desa, kemudian ditambah keputusan kenaikan harga BBM, adalah situasi yang amat mencekam kehidupan warga negara Indonesia bagian Maluku Utara, terutama didaratan Patani Timur Halmahera.
Ini merupakan petaka merantai secara struktural dimana mempengaruhi aktifitas perkebunan masyarakat Patani ditengah anjloknya harga pala, kelapa dan cengkih.
Ancaman buruk atas bobroknya kebijakan negara yang menimpah warga Indonesia, nyaris bergulirnya waktu membuat warga Patani Halmahera dilema menentukan nasib di atas tanah air sendiri.
Berdasarkan cerita sejumlah Warga Desa Sakam, Kecamatan Patani Timur, bahwa mereka alami kemunduran ekonomi lantaran kebun pala yang jauh dari perkampungan tak lagi terawat seperti sebelumnya.
“Akhir-akhir ini torang (kami-red) memiliki pendapatan ekonomi sangat kecil. Sementara kebutuhan pokok seperti beras, telur, supermi (mie), BBM, dan bahan lain semua harganya naik. Tidak sesuai dengan pendapatan sehari, “ungkap Salbia saat disambangi penulis.
Minimnya pendapatan, juga disatu sisi dipengaruhi kuat oleh tragedi gowonle yang berdampak buruk pada aktifitas perkebunan.
Ini jelas adanya, posisi masyarakat ditengah lajunya wacana politik 2024, pemangkasan harga BBM, pelaku pembantaian (tragedi gowonle) tak kunjung terungkap, adalah situasi dramatis-emergensi dimana kesadaran muncul melintasi korban terdampak namun terabaikan.
“Keadilan untuk siapa kalau hukum dikebiri, dikemas hingga jadi berduri”.