Menyoal Somasi Terhadap AMPP TOGAMMOLOKA : Ketua DPRD Halut Jenlis G Kitong Juga Kuasa Hukum Tak Paham Berdemokrasi

Opini502 Dilihat

Penulis : Alkokon, Ketua Departemen Hukum dan HAM, AMPP TOGAMMOLOKA

——————————————

Praktik pembungkaman atas kritik masyarakat kembali terjadi. Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Utara, melalui 3 kuasa hukumnya, saat ini melayangkan somasi kepada Ampp Togammoloka terkait dengan statement yang dilontarkan lewat media sosial. Somasi tersebut berisi niat Ketua DPRD Halut untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan Ampp Togammoloka ke pihak berwajib. Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik.

Penting ditekankan, Ampp Togammoloka sebagai bagian dari masyarakat sipil  yang sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ampp Togammoloka juga merupakan salah satu organisasi yang memperjuangan kepentingan wilayah provinsi Maluku Utara serta Kabupaten Halmahera Utara (UU RI Nomor 46 Tahun 19 Tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, UU Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, dan UU Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai). Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah dan niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini sedang mengalami kenaikan harga beras dan meruntuhkan perekonomian masyarakat dan negara. Namun, alih-alih Ketua DPRD Halut selaku bagian dari pemerintahan legislatif justru mendapati pemeriksaan dari KPK atas dugaan kasus korupsi Hibah Sanitasi, miris.

Menyikapi langkah Janlis G Kitong selaku Ketua DPRD Halut, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat.

1. Upaya pemberangusan nilai demokrasi.

Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat. Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya: Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.

Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Ketua DPRD Halut ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Hasil Rilisan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan.

2. Melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil.

Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi. Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik.

Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia.

Selanjutnya, dari aspek hukum, mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari statement Ampp Togammoloka tersebut. Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut.

KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan statement Ampp Togammoloka, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP: tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum. Sebab, Ampp Togammoloka memaparkan statement dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat kenaikan harga beras, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik.

Permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE. Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam dokumen tersebut, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disampaikan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi. Statement yang dikeluarkan Ampp Togammoloka lahir dari sebuah kajian ilmiah yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas, tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi atas suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat.

Sebenarnya, tanpa mesti menempuh jalur hukum, Ketua DPRD Halut dapat menyampaikan bantahan atas statement Ampp Togammoloka dengan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pers. Sebab, hasil statement Ampp Togammoloka tersebut diketahui khalayak ramai oleh karena dimuat dalam berbagai pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, mekasnisme ini lah yang harusnya didorong dan ditempuh, bukan dengan ancaman pidana.

Editor : Abd Muhid Bayan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *