Foto : Nurlaila Kadarwati Papuluwa, SH.
Oleh: Nurlaila Kadarwati Papuluwa, SH.
Fungsionaris KOHATI Cabang Ternate Bidang Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) dan Mahasiswi Pasca Sarjana Prodi Ilmu Hukum Unkhair
“Knowledge Is Power But Character Is More”
Pengembangan Karakter Melalui Penjagaan Integritas Merupakan Harga Mati Bagi Sebuah Institusi Pendidikan
Sebagai pusat peradaban masyarakat modern. Kampus diharapkan menjadi wadah terbaik untuk mentransmisikan pengetahuan ilmiah, gagasan dan inspirasi mahasiswa, yang akan mewarnai dan menentukan arah perjalanan bangsa. Sehingga diharapkan, peran generasi terdidik dapat menopang vitalitas pembangunan negara.
Pengembangan iptek dan budaya akademik menjadi titik temu antara upaya pembinaan karakter dengan peningkatan kualitas sebagai hasil dari proses pendidikan tinggi (Staiddipare: 2019). Dengan demikian, sudah sepatutnya kampus tetap dimaknai selayaknya institusi yang sangat menjunjung tinggi nilai integritas.
Karektersitik kampus sebagai laboratorium pengetahuan tampaknya tengah diguncang prahara. Perguruan tinggi justru tidak lagi menjadi ruang yang aman bahkan tidak lagi kondusif. Sehingga, memantik pernyataan Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek bahwa kita bukan hanya darurat pandemi Covid-19, tapi juga pandemi kekerasan seksual.
Pernyataan ini dapat dibuktikan berdasarkan data dari kanal lembaga negara yakni Komnas Perempuan di tahun 2015-2020 mencatat bahwa 27% kekerasan seksual terjadi disemua jenjang pendidikan tinggi. Kemudian, dari 174 testimoni di 79 kampus dari 29 kota merilis 89% perempuan dan 4% laki-laki menjadi korban kekerasan seksual realitasnya terjadi di lingkungan kampus, tempat magang, rumah dosen, bahkan melalui pembelajaran daring.
Bahkan, setelah dilakukan survei oleh Ditjen Dikristek, 77% dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
Viral pelecahan seksual di Universitas Riau yang dilakukan dosen terhadap mahasiswi saat bimbingan proposal skripsi memberi isyarat bahwa perempuan butuh perlindungan segera.
Idealnya, kampus wajib kembali pada khittah perjuanganya untuk melaksanakan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif serta merdeka dari kekerasan seksual.
Kontroversi Frasa “Sexual Consent” dalam Permendikbudristek
Itikad baik dibalik gagasan progresif Mendikbudristek, mengeluarkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada 31 Agustus 2021 tentu telah didasarkan atas pertimbangan logis-rasional.
Kasus kekerasan seksual yang sejauh ini terungkap di kampus hanyalah “puncak gunung es” dari puluhan bahkan ratusan ribu kasus yang sebenarnya telah terjadi. Sementara, pihak universitas kerap kali kebingungan menangani laporan kekerasan seksual secara langsung maupun berbasis digital, karena sebelumnya tidak ada aturan dan panduan yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Demi memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas yakni membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) disertai kualifikasi sanksi kepada pelaku akibat perbuatannya, yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2), (3), dan (4) justru menuai polemik.
Ironisnya, substansi dari Pasal 5 ayat (2) mengenai sexual-consent menunjukkan tanpa persetujuan korban atas tindakan seksual yang terjadi padanya dinilai oleh Majelis Ormas Islam (MOI) berpotensi melegalisasi zina dan mengakomodasi penyimpangan seksual yakni LGBT.
Upaya Menyikapi Polemik Norma
Penolakan terhadap Permendibudristek dengan alasan tanpa persetujuan korban (sexual-consent)lantas diasumsikan memfasilitasi “kekebasan seksual” pun tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagaimana mungkin kehadiran aturan ini untuk mencegah kejahatan seksual yang kian mencemaskan mengkhianati tujuan mulia pembentukannya.
Meskipun disadari bahwa penanganan perkara kekerasan seksual memerlukan kekhususan (lex specialis) karena harus berfokus pada korban. Maka, menjadi sangat beralasan bilamana upaya mereduksi kekerasan seksual membutuhkan intervensi negara melalui product peraturan perundang-undangan sebagai bentuk formalnya.
Menurut hemat penulis, disatu sisi desain dan penegasan terhadap norma untuk menjerat pelaku dan institusi sudah cukup komprehensif diatur dalam Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan bahwa sanksi administratif berat bagi aktor intelektualis yang melakukan kekerasan seksual dapat diberhentikan tetap dari jabatan sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau warga kampus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara perguruan tinggi yang tidak melakukan PPKS dapat dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana; dan/ atau penurunan akreditasi.
Keadilan substantif dan prosedural perlu diusung dalam Permendikbudristek PPKS untuk mencapai relasi kebaikan (mu’asyarah bil-ma’ruf). Dengan demikian, setidaknya terdapat tiga tawaran solusi mendasar dalam merespon polemik norma Permendikbudristek PPKS.
Pertama, rumusan norma terkait penegakan hukum melalui sanksi administratif berat pada pasal 14 ayat (4) mengisyaratkan bahwa pelaku kekerasan seksual hanya dapat dikriminalisasi bilamana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka, menjadi konsekuensi logis untuk mengesahkan terlebih RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang formal. SebelumPermendikbudristek ini massif diterapkan.
Kedua, instrumen yang digunakan untuk menerjemahkan frasa kalimat tanpa persetujuan korban (sexual consent) dalam Pasal 5 ayat (2) perlu ditafsir secara gramatikal, autentik, sistematis, bahkan dengan penafsiran hukum teleologis yakni dengan melihat tujuan dari aturan perundang-undangan dibuat. Untuk menutup celah terjadinya multitafsir, maka arti sexual consent seyogianya diatur secara terperinci dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek.
Ketiga, kekhawatiran terhadap Tim Satgas PPKS yang tidak berkompeten dapat diatasi dengan mengusung prosedur rekrutmen 3Ps (Pendampingan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban). Dalam menjalankan peran pendampingan tim Satgas PPKS dituntut mempunyai salah satu personal branding dibidang konseling, advokasi, layanan kesehatan, bantuan hukum, pendamping disabilitas, hingga bimbingan sosial dan rohani.
Pemahaman terhadap upaya perlindungan korban mesti memberikan jaminan keberlanjutan pendidikan, penyediaan rumah aman, serta korban wajib bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan. Sementara, tugas pemulihan korban seyogianya didampingi oleh psikolog, tenaga medis kampus, pemuka agama, dan organisasi pendamping korban, serta di masa pemulihan harus dapat dipastikan tidak mengurangi hak pembelajaran bagi korban.