Oleh: Ryan Suneth
Indonesia Timur meliputi wilayah Maluku, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam. Dari daratan hingga lautan, kekayaan ini bukan hanya menyimpan potensi ekonomi, tetapi juga merupakan warisan budaya dan spiritual yang telah hidup dalam keseharian masyarakat adat selama berabad-abad. Mereka hidup selaras dengan alam, menjaga ekosistem, dan memperlakukan tanah bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai bagian dari identitas.
Namun, atas nama pembangunan dan kemajuan, kekayaan ini justru menjadi sasaran eksploitasi yang sistematis. Tanah-tanah subur dan laut yang melimpah kini berubah menjadi saksi bisu dari kehancuran ekologis yang brutal. Proses ini layak disebut sebagai genosida ekologis—yakni pemusnahan cara hidup dan eksistensi masyarakat adat melalui perusakan lingkungan secara masif.
Pembangunan atau Perampasan?
Pembangunan yang dijanjikan oleh pemerintah dan korporasi kerap dimaknai sebagai ekspansi industri ekstraktif: pembabatan hutan, pencemaran sungai, serta eksploitasi laut secara besar-besaran. Proyek tambang emas di Blok Wabu, perkebunan sawit di Boven Digoel, tambang nikel di Raja Ampat, hingga PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera adalah contoh nyata dari kerusakan ekologis yang kini tengah berlangsung.
Di balik proyek-proyek ini terdapat hubungan erat antara negara dan korporasi yang secara aktif merampas tanah adat atas nama investasi. Seperti dikemukakan Henrietta Moore (2001) dalam Anthropological Theory Today, eksploitasi wilayah pinggiran bukan semata proses ekonomi, melainkan bagian dari relasi kekuasaan global yang melanggengkan ketimpangan antara pusat dan pinggiran. Pembangunan yang berfokus pada ekstraksi sumber daya acap kali mengabaikan keberlanjutan sosial dan ekologis masyarakat lokal.
Amory Starr (2005) juga menegaskan bahwa praktik ekstraktivisme sering dibungkus dalam narasi pembangunan, padahal pada kenyataannya menciptakan ketergantungan struktural dan kerusakan sistemik terhadap komunitas lokal.
Negara sebagai Fasilitator, Rakyat sebagai Korban
Alih-alih melindungi rakyat, negara justru berperan sebagai fasilitator utama dari kerusakan ekologis ini—melalui kebijakan perizinan, insentif investasi, hingga perlindungan hukum bagi korporasi. Aparat negara yang seharusnya menjaga kepentingan publik kerap kali menjadi perpanjangan tangan investor. Akibatnya, masyarakat adat tersingkir dari tanah leluhur mereka dan kehilangan sumber air, pangan, budaya, bahkan jati diri.
Baca Juga:
Ini bukan sekadar isu lingkungan—melainkan bentuk nyata dari kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penindasan Struktural dan Ketimpangan Sosial
Kondisi ini mencerminkan apa yang disebut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed sebagai penindasan struktural. Menurut Freire, masyarakat tidak pernah netral; struktur sosial, politik, dan ekonomi sering kali dibentuk untuk mempertahankan kepentingan kelompok dominan, sembari menindas kelompok marginal.
Dalam konteks Indonesia Timur, masyarakat adat menjadi korban dari sistem pembangunan yang melayani elite politik dan ekonomi. Eksploitasi sumber daya alam bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga manifestasi dari ketimpangan kekuasaan yang dipertahankan melalui instrumen negara dan wacana pembangunan.
Keadilan Ekologis dan Kedaulatan Rakyat
Krisis ekologis yang terjadi di Indonesia Timur harus dilihat melalui lensa keadilan ekologis, bukan semata-mata sebagai isu teknis atau lingkungan. Menurut David Schlosberg dalam Defining Environmental Justice (2007), keadilan ekologis mencakup tiga aspek utama:
- Distribusi yang adil atas manfaat dan beban lingkungan, agar masyarakat lokal tidak terus-menerus menjadi pihak yang menanggung dampak negatif dari proyek ekstraktif.
- Pengakuan terhadap identitas, hak, dan pengetahuan tradisional masyarakat, termasuk relasi spiritual mereka dengan alam yang kerap diabaikan.
- Partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, di mana masyarakat adat berhak menentukan arah pembangunan dan masa depan ruang hidup mereka.
Tanpa ketiga aspek tersebut, pembangunan di kawasan seperti Indonesia Timur hanya akan melanggengkan bentuk baru dari kolonialisme internal. Sebuah kolonialisme yang kini berwajah investasi dan berwacana pertumbuhan ekonomi, namun sejatinya mengorbankan manusia dan alam demi akumulasi kapital.









