Polisi di Persimpangan: Dari Pelindung Rakyat Menjadi Bayang-Bayang Ancaman

Breaking News162 Dilihat

POSTTIMUR.com, TERNATE– Institusi kepolisian kembali menjadi sorotan tajam publik. Bukan karena prestasi dalam menjaga keamanan, melainkan karena deretan kasus kejahatan yang justru dilakukan oleh aparat berseragam. Ironi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah polisi masih menjadi pelindung rakyat, atau justru menjelma sebagai ancaman bagi masyarakatnya sendiri?

Sepanjang tahun 2025, sejumlah catatan lembaga bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil memperlihatkan peningkatan kasus kekerasan, penyalahgunaan wewenang, hingga dugaan keterlibatan dalam bisnis ilegal yang melibatkan aparat kepolisian. Dari tindak pemukulan terhadap demonstran, penganiayaan di tahanan, hingga praktik suap dan perlindungan terhadap mafia, semuanya memperlihatkan wajah buram penegakan hukum.

“Ini bukan sekadar perilaku oknum, tapi persoalan sistemik. Polisi bekerja di bawah logika kekuasaan, bukan logika hukum,” tegas seorang aktivis HAM di Ternate.

Kasus-kasus mencolok menunjukkan betapa sulitnya menyeret polisi nakal ke meja hijau. Seorang perwira menengah yang diduga terlibat narkoba, misalnya, hanya mendapat sanksi administrasi dan masih bisa kembali bertugas. Sementara rakyat kecil yang kedapatan memiliki barang bukti serupa langsung dijatuhi vonis penjara bertahun-tahun.

Kesenjangan hukum ini melahirkan persepsi publik bahwa ada “dua pasal” dalam negeri ini: satu pasal untuk rakyat jelata, dan pasal lain untuk mereka yang berseragam.

Ironi lain tampak di jalan raya. Polisi lalu lintas yang seharusnya menegakkan disiplin berkendara, seringkali menjadikan tilang sebagai ajang pungli. Tidak sedikit masyarakat mengaku lebih mudah “berdamai” dengan sejumlah uang ketimbang mengikuti prosedur resmi. Praktik ini yang secara perlahan menggerogoti wibawa hukum.

Baca Juga:

Aksi Mahasiswa di DPRD Ternate Ricuh, 14 Orang Diamankan Polisi

Ponpes Darul Falah Ternate Gelar Istigosah dan Diskusi Solidaritas untuk 11 Pejuang Lingkungan Maba Sangaji

Yang lebih mengkhawatirkan, ada laporan masyarakat tentang keterlibatan aparat dalam melindungi aktivitas tambang ilegal maupun jaringan narkoba. Alih-alih memberantas, aparat justru diduga ikut menikmati keuntungan dari aktivitas gelap tersebut.

Di tengah maraknya kasus kejahatan polisi, penindakan terhadap aparat pelanggar justru nyaris tak terlihat. Institusi kepolisian lebih sibuk membungkus kasus dengan istilah “oknum” ketimbang membuka fakta secara transparan. Padahal, tanpa akuntabilitas yang nyata, kepercayaan publik terhadap polisi akan terus tergerus.

“Ketika rakyat tidak lagi percaya pada polisi, maka runtuh lah sendi hukum negara. Sebab, bagaimana mungkin masyarakat tunduk pada hukum jika aparat penegak hukum sendiri melanggarnya?” tambah sang aktivis.

Reformasi kepolisian yang digembar-gemborkan sejak dua dekade lalu tampak berhenti di meja wacana. Hingga kini, publik masih menunggu bukti nyata bukan sekadar jargon. Yang dibutuhkan adalah mekanisme pengawasan independen, keterbukaan informasi kasus, serta keberanian menindak tegas anggota yang bersalah.

Sebab, jika polisi terus dibiarkan berperan ganda sebagai penegak hukum sekaligus pelanggar hukum, maka yang hilang bukan sekadar rasa aman masyarakat, melainkan juga legitimasi hukum itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *