Oleh : Burhanuddin Jamal
(Ketua dJAMAN Komisariat STKIP Kieraha)
“Kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar dan tindakan yang paling keji pun buruk dalam pandangan syari,at kekerasan seksual hanya lahir dari jiwa-jiwa yang sakit dan birahi-birahi rendahan sehingga keingginannya hanya menghamburkan syahwat dengan cara binatang diluar nalar logic dan nalar manusia” Syauqi Ibarahim Allam.
Siapa yang bilang bahwa dinegeri ini kekerasaan pada tubuh perempuan di koreksi dengan benar, lalu dijadikan pelajaran untuk tidak diulanggi lagi sebagaiamana mestinya? Siapa yang bilang bahwa perih-perih dimasalalu itu sudah kering berguguran di tanah yang basah? Adalah masyarakat maluku utara yang diguncang perasaan kasus penemuan mayat oleh seorang warga. Mayat tersebut bernama Kiki Kumala yang berasal dari desa Tahane, Kecamatan Malifut, Halmahera Barat. sebagaimana keterangan direktur Reskrimum polda Malut yang menjelaskan kronologis kejadian pada tahun 2019 ini berawal saat Kiki menumpang mobil milik pelaku Muhammad Irwan dari Tahane menuju Sofifi. Tragisnya kekerasan seksual atau pemerkosan hingga berunjung pembunuhan dengan mencekik leher korban terjadi ditengah tengah perjalan hinggapun menjadi pembuangan dalam hutan. Kasus Kiki tentu meninggalkan luka mendalam bagi semua pihak. Apalagi kekejaman pada Kiki Kumala sayangnya bukan yang terakhir. Dan, sudah barangkali kita juga membaca kasus lain yang dipublikasih sepertihalnya, beberapa minggu yang lalu oknum Polisi di Halmahera Barat, Maluku Utara, Briptu II ditangkap karena melakukan aksi pemerkosaan yang berawal saat korban dan rekanya berada disebuah penginapan sidangoli, Jailolo Selatan Halmahera Barat.
Berangkat daripada itu kekerasan berbasis gender telah menjadi pendemi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan di indonesia naik hingga 800% hinnga mendarah daging dalam perbincangan yang panas pada masyarakat umumnya. Hal ini didasari pada modus ataupun cara yang selalu berkembang tanpa diikuti kebijakan atas perlindungan terhadap setiap korban dan pelaku yang tidak dapat mengontrol kebutuhan batin mereka. Berputar kembali pada tahun 2017 dalam catatan tahunan yang dipublikasihkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN), terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi diantaranya, pada ranah kekerasan dalam rumah tangga menempati posisi tertinggi sebanyak, 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1. 266 kasus, sementara kekerasan seksual masih menepati peringkat utama sebanyak 2.290. 2018 sendiri Komnas Perempuan menyajikan bahwa kasus kekerasan seksual pada perempuan ada 5.280 dan pada tahun 2019 jumlahnya 4.894 kasus, diyakini angka tersebut hanyalah puncak dalam catatan, sebab nyatanya berkaca pada lapangan lebih banyak tidak terungkap. Bahkan ditahun 2020 kemarin dalam satu tahun terjadi hampir 11. 637. Catatan Komnas Perempuan juga menunjukan dalam beberapa tahun terakhir, setiap dua tiga jam sekali satu orang perempuan mengelami kasus pemerkosaan dalam artian satu hari sekitaran 10 Bahkan lebih perempuan diindonesia mengelami kasus kekerasan seksual, akan tetapi daripada itu masih banyak kasus serupa yang tidak terlaporkan, terdata dan tidak tertangani dibandingkan kekerasan ssterhadap perempuan lainnya karena berkaitan dengan konsep moralitas masyarakat.
Padahal tanpa disadari dan didasari kekerasaan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan manusia manusia tak beradab mulai pada tingkatan polisi, supir angkot, bahkan pelaku kekerasan seksual kebanyakan bukan orang asing bagi korbannya hal itu senada dengan kejadian beberapa waktu belakangan ini yang kembali menguncang deras Maluku Utara, tentang meninggalnya seorang remaja perempuan berinsial NU di Patani, Halmahera Tengah akibat organ intim yang membengkak dan bernanah hal ini tidak terlepas dari bejatnya orang terdekatnya sebelum termakan buas sifat kesetanan beberapa orang yang kemudian itu sahabat-sahabat kekasihnya sendiri. Kekejaman yang tak terpatri dialami NU sudah barangkali bukan hal yang utama dan bisa jadi yang terakhir sebab kekerasaan seksual akan terus terjadi dalam lingkungan hidup. Namun, sayangnya dalam pemahaman masyarakat di negeri ini pada khususnya di Maluku Utara itu sendiri yang meliputi beberapa kabupaten diantaranya. Halbar, Halteng, Halsel, Halut, Sula, Taliabu, Tidore dan Ternate. Perempuan yang mengelami kekerasan seksual selalu ditempatkan pada posisi yang tidak pula memungkinkan sebab asumsi perempuan yang sering dipandang sebagai kelas kedua serta pemuas nafsu seksual lelaki masih berbaur kental dalam artian perempuan dan laki-laki tidak hanya memiliki idientitas biologis berupa jenis kelamin yang menyebabkan berbedah, akan tetapi juga memiliki identitas yang dilekatkan secara sosial turun temurun dimana lelaki punya peran sebagai kontrol utama sebaliknya peran perempuan dibatasi pengaruhnya, baik pada aspek ekonomi, sosial, politik, dan psikologis bahkan termasuk dalam insitusi pernikahan posisi perempuan selalu diletatkan pada subordinat atau inferior pembatas tersebut jadi belenggu yang mengental pada diskriminsasi. Dalam buku yang bertajuk Pengantar Gender dan Feminisme yang ditutur Alfian Rokhmansyah Patriaki berasal dari kata patriakrat, artinya struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala galanya bahkan lebih cenderung membuka keluasan bagi laki-laki untuk berlaku semena mena. Jika kalau digiring dalam kacamata sastra sejak sekitaran 1970 an, permasalahan perempuan sudah mulai terlihat secara fenomenal didalam karya-karya sastra. Tinake Hellwing dalam disertasi yang berjudul kodrat wanita menyimpulkan bahwa dalam novel-novel indonesia yang dikarang oleh pengarang perempuan, digambarkan sebagai tokoh yang hidup dalam tekanan kontrol sosial, akibatnya mereka sendiri menemukan kesulitan gambaran itu sering terlihat pada novel Kembang Padang Kelabu, buah karya Ike Supomo. Disisi lain, juga tidak banyak pengarang laki-laki yang menciptakan tokoh perempuan sebagai tokoh sentral cerita, Sangidu mengatakan sejak tahun itu penulis pria lebih dominan melengkapi pengembaran mengenai perempuan dalam sudut pandang lelaki. Bahkan hingga kini budaya patriaki masih terawat. Unjung tombak permasalahan inilah yang sering menyebabkan tingginya kekerasan sesksual bahkan diperparah dengan pihak korban dalam artian ini perempuan yang menjadi objek masalah, bahwa kekerasan seksual dapat terjadi akibat perilaku maupun pilihan hidup atau disebabkan pula karena korban bersikap genit, suka mengoda.
Tanpa mengabaikan agama lain dalam mata islam sendiri kerangka besar keislaman, dan ragam riwayat hadist menyatakan bahwa islam menyatarakan manusia perempuan bahkan laki-laki serta memperbaiki posisi perempuan dimasyarakat tujuan-tujuan daripada syariat pun menegaskan pentingnya dalam menjaga kaidah universal yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga keturunan, pun menjaga akal, Jikalau kita mencoba mengambarkan faktor-faktor daripada terjadinya kekerasan seksual sudah barangkali kita akan memicu pada faktor internal pun eksternal bermula daripada ketidakmampuan dalam mengelolah akal yang sehat, akan tetapi dalam hal ini sudah barangkali islam memiliki cara dalam memerangi nafsu sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Saw
“Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian mampu menikah dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa sesungguhnya ia akan menjadi penawar nafsu”
Merujuk pada sepangalan arti daripada Surah Q.S AN-NUR 30-31 “katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memilihara kemaluannya. Lalu katakanlah kepada setiap wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memilihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasan kecuali yang biasa nampak daripadanya.”
Berbagai literatur dalam ruang lingkungan hidup islam bisa disimpulkan laki-laki dan perempuan pihak yang semestinya berada pada posisi semestinya sadar diri dan tahu diri. Lalu siapa yang disalahkan ketika sebuah wilayah melonjak angka pada kekerasan seksual pada perempuan? Sendangkan upaya-upaya penganan terhadap kasus kekerasan seksual dinilai kurang optimal terutama dalam dramatisasi perjuangan perempuan memperoleh keadilan diberbagai aspek semakin buruk dalam kepala kotor yang mengakibatkan berlarut-larutnya kasus-kasus kekerasan seksual apalagi soal kritis hukum indonesia mengenai perempuan pun masih menjadi problematika seperti halnya yang pernah digunakan untuk mengatasi masalah kejahatan terhadap perempuan semata-mata hanya tertandatangan diatas lembaran putih bahkan sampai saat ini kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi sulit untuk diselesaikan secara keadilan dipayung berbagai lembaga yang membuat kekerasaan tidak berhenti begitu saja. Diluar daripada itu negara seharusnya tidak boleh menunda-nunda kebijakan dalam menghapus kekerasan seksual terhadap perempuan yang mengelami kekerasan sebagaimana mestinya, negera seharusnya pula memberikan akses kepada setiap perempuan yang mengelami kekerasan berupa mekanisme peradilan yang dijamin pada perundang-undang. Dan harus menyadari tiada cara lain yang menyadarkan predator kelamin untuk melampiaskan hasratnya selain memberikan hukuman yang jera seperti halnya hukuman kebiri pun mati.