Foto : Bambang Rano
Oleh : Bambang Rano
(Penggiat Literasi Loga-loga)
Dinamika demokrasi diruang publik akhir-akhir ini telah nostalgia politik. Disanalah elit politik dan intelektual mulai berkelidan dengan isu-isu populis. Seperti “Maluku Utara dimata elit politik” yang terus diproduksi diruang publik.
Diskrusus wacana Maluku Utara dimata elite politik adalah menyoal konseldasi politik kekuasaan. Hingga konseldasi politik dengan gerakan faksi-faksi sosial yang direkrut dari berbagai pihak.
Memasuki tahun pertarungan politik di (2024) ini, menjadi penentu, hendak ke mana nadi demokrasi? Pertanyaan refleksi seperti ini sulit, terlintas dalam pemikiran diruang publik yang didominasi oleh elit politik dan oligarki. Dengan sendirinya “demokrasi” menjadi piranti kekuasaan.
Kekuasaan harus berjalin dengan demokrasi yang sehat dan memerlukan empati dari kesadaran emanisipatoris dengan kecerdasan masyarakat secara kolektivitas yang kondusif. Tentang hal ini, Thomas Jefferson mengingatkan bahwa tak ada tabung pengaman bagi demokrasi kecuali rakyat itu sendiri.
Rakyat itu sendiri harus memiliki kesadaran literasi politik dan kecerdasan bahwa proteksi dipanggung eforia politik. Dan di depan layar panggung politik itu drama, melainkan dibelakang panggung politik itu disebut sebagai kapital.
Kapita misalnya, tidak ada akumulasi modal, bila tidak ada politik penguasaan ruang sumberdaya alam. Sehingga modal itu selamat dengan siapa yang menguasai sumberdaya alam dan siapa yang mengelola sumberdaya alam.
Siapa yang mengusai sumberdaya alam dan siapa yang mengolahnya akan memiliki biyaya modal demokrasi yang tinggi, serta mengubah relasi-relasi kuasa secara mendasar. Oligarki penguasa-pemodal tidak saja manipoli sektor-sektor sumberdaya alam secara ekonomi, tetapi juga mengintervensi kuasa budaya lewat media massa kekuatan simbol diruang publik.
Relasi kuasa semestinya bersifat timbal balik, saling mengaruhi. Mengikuti pandangan Michel Foucault, “kuasa” merupakan sumber modal budaya (pengetahuan, kekuatan simbolik), modal politik (partai, jaringan sosial), dan modal uang.
Jenis modal itu memiliki pengaruh sendiri-sendiri dalam relasi kuasa sebagai prasyarat kekuasaan. Karena itu, akumulasi modal bisa diatas namakan oleh seorang atau sekelompok orang. Dengan dasar inilah, bahwa perubutan kekuasaan dipahami secara modal politik.
Ketika elit politik dan oligarki bicara “demokrasi’” dalam sirkulasi nalar kekuasaan politik, maka disampingnya adalah negara. Bisa dikatakan perebutan sumberdaya alam telah dijarah melalui proses sirkulasi elit politik lokal dan oligarki.
Proses sirkulasi elit politik memiliki relasi dengan kepentingan oligarki. Oleh karena itu, Maluku Utara hanya lokus sumberdaya alam yang dieksplotasi atas nama pembangunan. Masalah diatas adalah fakta sosial yang menandai bahwa politik pengusaan sumberdaya alam untuk kepentingan vital oligarki.
Mengapa demikian, karena saat bersamaan kekuasaan saling penetrasi dengan oligarki, karena demokrasi dilekatkan dengan ongkos finansial. Maka demokrasi dibungkus dengan kepentingan masyarakat akan tergusur dengan politik dagang. Seperti bagi-bagi uang di masyarakat sebagai distrupsi mani politik yang melanda krisis keadaban demokrasi.
Krisis keadaban demokrasi, menurut Robert Reich, timbul manakah, “keinginan kita sebagai investor dan konsumen biasanya menang karena nilai-nilai kolektif kita sebagai warga tidak lagi memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri”.
Mengekspresikan diri untuk kepentingan aspirasi publik dan kebijakan publik harus sesuai dengan kepentingan masyarakat yang pokok dan mendasar. Namun polarisasi kekayaan sumberdaya alam mengalir dikantong-kantong segelintir orang. Distribusi kekayaan terjadi supordinat dalam kepentingan masyarakat. Supordinat terjadi secara terstruktur dalam kebijakan pembangunan.
Kebijakan pembangunan yang merosot secara struktur sosial mengalami defisit dengan kemunduran pemikiran, pada akhirnya visi masa depan terpinggirkan. Namun persoalan-persoalan kesenjangan keadilan, kemiskinan, kesejahteraan, dan kerusakan sumberdaya alam hutan semakin masif, tanpa kesanggupan memahami akar persoalannya.
Akar persoalan dan solusi yang mendasar, harus ada pemahama yang mendasar pula, namun dengan kemunduran daya berpikir pula. Dalam konteks akar masalah diatas, mulai menjakiti kehidupan diruang publik. Segala persoalan dan tantangan ini juga disandarkan solusinya pada pemimpin yang visioner.
Memiliki pemimpin visioner dengan reputasinya terpuji dan terpercaya di mata ruang publik, bisa menimbulkan efek berantai perubahan diberbagai dimensi dan level kehidupan publik.
Saat krisis kepercayaan, kualitas integritas perluh pemahaman yang lebih mendalam bahwa krisis kepercayaan dalam politik diruang publik. Akibat moral dan etika politik jatuh dari titik nadi, lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri.
Dengan kualitas jati diri hanya mengejar popularitas dan citra, modal mengivansi demokrasi menempatkan aku diatas kepentingan bersama yang menimbulkan persoalan atas segala yang civie dan ruang publik.
Dengan demikian, problem demokrasi ada pada pikiran dan hati yang memerlukan keseimbangan kekuatan masyarakat dan kekuasaan. Kita memerlukan pemimpin visioner yang kuat secara mental, intelektual, spiritual, dan emosional.
Secara mental, intelektual, spiritual, dan emosional bisah meminjam argumentasi Arnold Toynbee dan Oswald Spengler. Dalam pelacakan terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20 peradaban, Toynbee mengaitkan distegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Hal senada dikemukakan Spengeler.
Kemunduran suatu peradaban (barat) disebabkan pudarnya “jiwa budaya” (spirit, etika, dan pola pikir) yang menjadi elan vital peradaban. Penjelasan seperti ini, bahwa sebab poko kegagalan suatu negara dan bangsa bukan karena kurang sumberdaya alam, karena salah urus, alias salah desain.
Salah desain dalam problem kompleksitas yang saling menandai dan menumpuk. Oleh karena itu, Intelektual dan aktivitas penggiat sosial harus sunguh-sunguh mengamati “salah desain” dalam proses perangangan kohensi sosial ini. Tidak ada modal sosial yang lebih penting, selain modal kohesi sosial.
Modal kohesi sosial adalah kualitas pemimpin visioner tak akan melahirkan perubahan berarti tanpa disertai komitmen bersama. Dengan kesadaran kolektif semacam ini akan melahirkan ikatan rumah bersama.
Meminjam Shoshana Zuboof (2019), rumah adalah tempat kita berada, biasa mengetahui dan dikatahui, mencintai dan dicintai. Saling merawat percakapan, keterbukaan, pergaulan, kebersamaan, kedamaian, dan harapan masa depan.
Demikianlah, masa depan Maluku Utara adalah rumah kebudayaan dengan kearifan, keadilan, kemanusiaan dan kebebasan sebagai keadaban.