Kezaliman Suanggi Hutan di Maluku Utara

Opini1446 Dilihat

Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum PK. IMM FAPERTA

Suanggi tak lagi terbang di langit malam ia kini berjalan dengan sepatu lars, menyamar dalam kebijakan, dan menandatangani kesepakatan yang menghapus hutan dari peta.”

Ada keresahan yang menjalar diam-diam seperti kabut. Ia merayap dari rumah ke rumah, dari dusun ke dusun. Bukan karena langit yang mendung atau laut yang mengamuk, tetapi karena keputusan-keputusan dari ruang kekuasaan yang menggetarkan akar kehidupan masyarakat Maluku Utara. Di balik kertas Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tampak legal dan rapi, terdengar bunyi lain, jerit hutan yang terluka, dan bisikan ketakutan yang hanya terdengar saat malam mulai larut.

Istilah “suanggi” bagi masyarakat Maluku Utara bukan sekadar cerita horor menjelang tidur. Ia adalah lambang ketakutan, kekuatan gelap yang bisa meluluhlantakkan hidup. Kini, “suangi” seolah hidup kembali bukan sebagai makhluk gaib, tapi menjelma dalam rupa para elit yang membawa janji investasi dan pembangunan. Mereka datang bukan dengan mantra, tetapi dengan proposal tambang dan kontrak-kontrak bisnis yang tak semua rakyat mengerti. Tapi satu hal masyarakat tahu pasti: setelah mereka datang, hutan tak pernah lagi sama.

Hutan, yang dulu menjadi ruang hidup dan penyangga budaya, kini dilihat masyarakat sebagai medan rampasan yang dilegalkan. Di mata sosial warga, perusahaan bukan lagi penanda kemajuan, tetapi simbol ancaman yang terus menghantui. Di Halmahera Tengah, IWIP bukan hanya mengguncang tanah ia mengoyak tatanan ekologis dan melahirkan jurang sosial: kekayaan terkonsentrasi di satu sisi, kemelaratan tumbuh di sisi lain. Sementara di Halmahera Timur, nama PT Position menjelma momok baru. Masyarakat adat hidup dalam tekanan dan ketakutan; bersuara dianggap melawan, dan melawan bisa berarti dilenyapkan dari peta kebijakan. Semua ini bukan kebetulan, tapi bagian dari desain kekuasaan taktik sistematis elite besar yang menukar hutan dengan kuasa, dan mengganti kehidupan rakyat dengan keuntungan sepihak.

Lebih mengherankan lagi, atas nama pembangunan, Maluku Utara diserahkan begitu saja kepada para korporasi. Pada 2025, tercatat ada 113 IUP yang diterbitkan. Angka ini bukan rekaan disampaikan langsung oleh anggota Komisi III DPRD, Muksin Amrin, dalam RDP bersama Dinas ESDM. Apakah ini wujud percepatan pembangunan, atau percepatan kehancuran?

Jika di lihat lagi Data dari media Indotimur.com Februari 2022 menambah kegelisahan: 13 IUP menyebar di tiga kabupaten10 di Halmahera Timur, 2 di Halmahera Tengah, dan 1 di Halmahera Selatan. Lahan terus diambil, batas kampung digeser, dan masyarakat dipaksa pasrah pada peta-peta yang tak pernah mereka pahami, apalagi sepakati.

Bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar pohon dan tanah. Ia adalah ibu yang memberi hidup: air bersih, hasil hutan, obat-obatan alami, hingga identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Namun begitu IUP diterbitkan, seolah mantra jahat dilontarkan: pohon tumbang, sungai keruh, tanah adat diklaim menjadi properti perusahaan.

Yang membuat semuanya lebih mengerikan adalah cara ini dilakukan: diam-diam, tanpa partisipasi rakyat, bahkan kerap tanpa pemberitahuan. Peta muncul, batas digambar ulang, dan warga baru menyadari tanah mereka bukan lagi milik mereka. Ketika mereka protes, label “penghambat pembangunan” segera disematkan. Suara rakyat dibungkam oleh deru mesin dan ekskavator.

Ironisnya, keberpihakan pemerintah Maluku Utara kepada masyarakat kecil kian kabur. Dan lebih menyakitkan, satu-satunya jawaban yang paling sering mereka dengar hanyalah: “Nanti.” Sebuah kata yang menggantungkan harapan dan menggantikan keadilan. Dikutip dari Kompas.com (26/5/2025), saat ditanya soal 11 warga Maba Sangaji yang ditahan setelah mempertahankan tanah adat mereka dan kemudian diduga positif narkoba oleh pihak kepolisian Gubernur Sherly Tjoanda menjawab: “Iklim investasi tidak bisa stabil tanpa jaminan keamanan bagi investor.” Kalimat ini mencerminkan bagaimana negara, dalam pandangan Karl Marx, berfungsi sebagai alat kelas borjuis bukan pelindung rakyat, melainkan pelayan kepentingan modal.

Inilah yang membuat rakyat gentar pada “setan investasi” ketika negara lebih sibuk menjaga kenyamanan modal ketimbang melindungi hak rakyat. Dan saat pilihan harus dibuat antara tanah leluhur dan keamanan investor, yang dikorbankan tak lain adalah rakyat itu sendiri.

Ketakutan warga bukan hanya soal lahan yang hilang atau lingkungan yang rusak. Ketakutan mereka lebih dalam: tentang bagaimana melawan infestasi jika pemimpinya sendiri adalah aktornya? bahwa mereka sedang berhadapan dengan kekuatan yang tak bisa mereka pahami, dan tak bisa mereka lawan. Ketika pemimpin lebih akrab dengan pemilik modal daripada dengan rakyat yang memilih mereka, maka kepercayaan pun mulai runtuh. Suangi itu kini tak hanya menghuni hutan, tetapi telah menyatu dengan sistem kekuasaan yang mestinya melindungi rakyat.

Lalu siapa sebenarnya yang diuntungkan dari proyek-proyek ini? Apakah masyarakat yang kehilangan tanah dan sungai? Nelayan yang kini kehilangan ikan? Atau segelintir elite yang tersenyum puas di balik meja perjanjian tambang? Jika jawabannya adalah yang terakhir, maka benarlah: suangi itu telah menjelma bukan sebagai hantu, melainkan sistem yang menjadikan tanah leluhur sebagai komoditas, dan rakyat sebagai statistik.

Tulisan ini bukan penolakan terhadap pembangunan. Tak ada satu pun warga yang menolak hidup yang lebih baik. Tapi apakah hidup yang lebih baik berarti tinggal di pinggir jalan tambang, meminum air keruh, dan memandangi gunung yang hilang sedikit demi sedikit? Apakah kemajuan mesti dibayar dengan hancurnya ruang hidup?

Maluku Utara adalah rumah besar kita bersama dan mayoritas penghuninya adalah masyarakat adat yang telah menjaga tanah ini jauh sebelum peta kekuasaan digambar. Ini bukan ladang rampasan bagi mereka yang datang rakus lalu pergi tanpa nurani. Jika pemerintah sungguh ingin membangun, maka hentikanlah infestasi legalitas semu yang merampas tanah-tanah adat. Libatkan rakyat terutama masyarakat adat dalam setiap kebijakan yang menyangkut wilayah mereka. Jangan jadikan mereka penonton di panggung yang dibangun di atas luka dan pengingkaran. Sebab pembangunan tanpa rakyat bukan kemajuan, melainkan perampokan yang dipoles jadi visi.”

Selama hutan terus disayat dan rakyat terus disingkirkan, “suangi” itu akan tetap hidup bukan sebagai dongeng malam, tapi sebagai horor harian yang nyata. Maka sebelum ekskavator menulis akhir dari segalanya di tanah gersang, mari kita kembalikan akal sehat dan hati nurani dalam memandang hutan sebagai cinta yang tak bisa di perselingkuhan dari tubuh kita. Sebab hutan bukan tempat menanam cuan, tapi tempat kita bertumbuh sebagai manusia. Hutan adalah tubuh kita, napas kita, dan masa depan kita.

Subah re salam bebaskan masyarakat adat maba Sangaji tama sarat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *